![In Memoriam Mbah Moen](https://koran-jakarta.com/images/article/php3fxdg__resized.jpg)
"In Memoriam" Mbah Moen
![In Memoriam Mbah Moen](https://koran-jakarta.com/images/article/php3fxdg__resized.jpg)
Dalam konteks inilah, kita mengenang peran seorang ulama ahli ushul fiqih seperti KH Maimun Zubair. Terbayangkah, jika saat itu para ulama yang duduk di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia tidak menggunakan ushul fiqih dalam menentukan bentuk dan dasar negara?
Apa yang terjadi sekarang? Mungkin tak akan ada Indonesia. Wakil-wakil Kristen dari Timur, misalnya, mengancam akan mendirikan negara sendiri, jika pihak Islam mengharuskan tercantumnya tujuh kata dalam Pembukaan UUD 45.
Soal tujuh kata itu, Bung Hatta menceritakan dalam memoarnya dengan bagus sekali. Usai Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 Jumat siang, pada sore hari, Bung Hatta menerima telepon dari Nishijima, asisten Laksmana Maeda, petinggi Angkatan Laut Jepang. Nishijima menanyakan apakah Hatta bisa menerima seorang opsir Angkatan Laut Jepang. Hatta mengiyakan.
Opsir itu menyampaikan berita, "Wakil-wakil Protestan dan Katolik di daerah-daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang, sangat keberatan terhadap bagian kalimat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Mereka menyadari bagian kalimat itu tidak mengikat mereka. Hanya mengenai kaum muslim. Namun tercantumnya ketetapan seperti itu di Undang-Undang Dasar bisa dimaknai sebagai diskriminasi terhadap minoritas. "Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia," tulis Hatta dalam memoarnya.
Halaman Selanjutnya....
Komentar
()Muat lainnya