Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Selasa, 04 Feb 2025, 10:48 WIB

Dilema Tukin Dosen ASN, Mengapa Tak Kunjung Dibayarkan?

Massa Aliansi Dosen ASN Kemendiktisaintek (ADAKSI) Kalimantan Selatan menggelar aksi tuntutan tukin di depan Gedung General Building Lecture Theater ULM di Banjarmasin, Senin (3/2/2025).

Foto: ANTARA

Rizqy Amelia Zein, Universitas Airlangga

Dosen Aparatur Sipil Negara (ASN) di perguruan tinggi (PT) di bawah pengelolaan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiktisaintek) ramai-ramai memprotes tidak terbayarnya tunjangan kinerja (tukin) selama lima tahun. Persisnya sejak diundangkannya Permendikbud Nomor 49 Tahun 2020 tentang pembayaran tukin pegawai.

Dibandingkan dengan sejawat dosen ASN di PT atau sekolah kedinasan yang dikelola kementerian lain—misalnya Kementerian Agama dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR)—nasib dosen ASN Kemendiktisainstek cukup memprihatinkan.

Sebagai ilustrasi, ambil contoh dosen CPNS lulusan S2 (golongan IIIb) Kemendiktiristek yang masih lajang, bekerja di PTN tanpa remunerasi (imbalan dari perusahaan kepada pegawai sebagai bentuk balas jasa). Mereka—yang belum berhak menerima tunjangan profesi atau fungsional—akan mendapatkan gaji bersih Rp2.369.400. Sementara dosen CPNS Kementerian PUPR dengan kualifikasi yang sama mendapatkan Rp7.448.400.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Serba-serbi gaji dan sumber pendapatan dosen pegawai negeri sipil

Sistem penggajian ASN cukup rumit karena adanya kesenjangan antara satu instansi dengan yang lain. Secara umum, gaji dan tunjangan dosen yang berstatus ASN mencakup:

1. Gaji pokok

Dosen ASN, sama seperti ASN pada umumnya, menerima gaji pokok sesuai golongan dan masa kerjanya. Kisarannya antara Rp2.903.600 (golongan IIIb) sampai dengan Rp6.373.200 (golongan IVe). Dosen ASN juga menerima berbagai tunjangan tambahan, yaitu tunjangan istri/suami, anak, dan beras yang totalnya kurang lebih sekitar Rp300 ribu.

2. Tunjangan fungsional

Selain gaji pokok, dosen ASN juga menerima tunjangan fungsional, yang kisarannya antara Rp375.000, untuk jabatan Asisten Ahli, sampai dengan Rp1.350.000, untuk jabatan Guru Besar.

Tunjangan fungsional ini tidak otomatis diberikan pada dosen calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang baru diangkat. Mereka harus menunggu setidaknya tiga tahun sampai akhirnya bisa mengajukan jabatan fungsional Asisten Ahli. Besaran tunjangan ini kecil dan bahkan tidak pernah naik sejak 2007.

3. Tunjangan profesi dosen

Dosen ASN juga menerima tunjangan profesi dosen yang besarnya sama dengan gaji pokok. Namun, untuk mendapatkan tunjangan ini, dosen harus melalui proses sertifikasi yang dapat mereka ajukan ketika sudah bekerja selama 5-6 tahun. Ini sebabnya tunjangan tersebut juga dikenal sebagai sertifikasi dosen (serdos).

Serdos juga berlaku bagi dosen yang bekerja di PT Swasta. Perolehan tunjangan tidak serta merta karena dosen harus menunggu kuota yang disediakan pemerintah, meski sudah memenuhi syarat.

4. Tunjangan kinerja

Tunjangan kinerja (tukin) merupakan amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN (direvisi menjadi UU No. 20 Tahun 2023). Artinya, ASN di kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah sudah lama menerima tukin—sejak terbitnya UU tersebut.

Anehnya, sampai hari ini, dosen ASN Kemendiktisaintek selalu dikecualikan dan tidak pernah mendapatkan tukin. Padahal, di kementerian dan lembaga lain, tukin otomatis diberikan sejak CPNS, tanpa syarat tertentu seperti yang melekat pada tunjangan profesi.

5. Honorarium

Dosen ASN Kemendiktisaintek juga menerima honorarium tambahan, misalnya honorarium kelebihan jam mengajar, pembimbingan, dsb. Namun, komponen ini tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena sifatnya tidak tetap.

6. Remunerasi

Beberapa perguruan tinggi negeri (PTN) dengan status badan hukum (BH) dan badan layanan umum (BLU) memberikan remunerasi sebagai tambahan penghasilan untuk dosen. Sumbernya adalah pendapatan universitas. Uang kuliah tunggal (UKT) merupakan salah satu komponennya.

Besaran remunerasi sangat bervariasi karena bergantung pada kemampuan PTN. Ada PTN yang mampu memberikan remunerasi dengan cukup layak, misalnya Universitas Bengkulu, sedangkan beberapa lainnya tidak memberikan remunerasi sama sekali.

Paparan di atas menunjukkan bahwa sumber penghasilan dosen ASN memang beragam, tapi tidak semuanya dibayarkan dengan lancar.

Karena itu, tidak mengagetkan apabila dosen ASN Kemendiktisaintek harus memiliki 1-2 pekerjaan tambahan untuk sekedar bertahan hidup, apalagi pada sepuluh tahun pertama menjadi dosen. Ada yang merangkap bekerja sebagai guru les, sopir ojek online, bahkan joki skripsi. Beberapa malah terjerat pinjaman online.

Berawal dari kelalaian

Pemerintah beralasan bahwa tukin tidak dibayarkan akibat perubahan nomenklatur kementerian sebanyak tiga kali sejak 2014. Namun, Kemendiktisaintek bukan satu-satunya instansi yang mengalami perubahan nomenklatur.

Alasan sebenarnya adalah Mendikbudristek saat itu, Nadiem Makarim, lalai menganggarkan tukin dosen. Padahal, perangkat pengaturannya sudah dilengkapi dengan Peraturan Badan Kepegawaian Negara (BKN) Nomor 12 tahun 2022 yang sudah mencakup kelas jabatan dosen.

Menagih komitmen presiden baru

Idealnya, pemerintah membayarkan tukin seluruh dosen ASN Kemendiktisaintek sesuai peraturan yang berlaku, tanpa memandang status PTN. Dosen PT satuan kerja (satker), BLU, BH, dosen yang diperbantukan di PTS (DPK), dan dosen pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK): semuanya berhak mendapatkan tukin.

Dengan begitu, beban remunerasi dari pendapatan PT—seperti UKT—bisa dikurangi. PTN BH, misalnya, cukup menanggung remunerasi dosen tetap non-PNS saja.

Dengan opsi ini, UKT bisa lebih terjangkau bagi masyarakat. Apabila opsi ini yang diambil, maka pemerintah membutuhkan alokasi anggaran sekitar Rp8,2 triliun saja.

Sayangnya, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang punya keterbatasan ruang pendanaan tidak mengambil opsi tersebut. Pemerintah justru berencana menghemat belanja sampai Rp306 T demi makan siang bergizi gratis.

Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek, Togar M Simatupang, menyebutkan bahwa pemerintah dan DPR bersepakat mengalokasikan anggaran sebesar Rp2,5 T yang hanya cukup untuk membayar tukin 34 ribu dosen di PT satker dan 12 BLU yang belum punya skema remunerasi. Sementara 49 ribu dosen ASN Kemendisaintek di 21 PTN BH dan 24 BLU tidak akan mendapatkan tukin.

Skema ini berpotensi menjadi masalah baru. Pendapatan dosen antar-PTN akan sangat timpang, mengingat tidak semua BH dan BLU mampu memberikan remunerasi yang layak. 
Kalaupun renumerasinya ditingkatkan, PTN harus menaikkan UKT mengingat porsi UKT masih mendominasi pendapatan BH dan BLU. Akibatnya, biaya kuliah menjadi semakin mahal.

Menaikkan daya tawar dosen

Salah satu alternatif yang tersedia adalah mendorong mobilitas atau perpindahan dosen antar universitas seperti yang lazim dilakukan di banyak negara, seperti Amerika Serikat (AS) atau Jerman.

Dengan begitu, dosen punya daya tawar yang lebih besar karena bisa fleksibel berpindah ke PT yang menawarkan benefit lebih baik. Pimpinan PT juga akhirnya akan sadar bahwa dosen adalah aset yang harus dipertahankan, bukan pekerja yang bisa dieksploitasi terus menerus.

Mobilitas akademis juga punya dampak positif lain, misalnya memperluas kolaborasi antarinstitusi.

Namun, opsi ini bukan tanpa masalah. Mengingat pembiayaan pendidikan tinggi masih bergantung pada UKT, maka tanpa keberpihakan dan komitmen pemerintah, opsi ini akan membuat biaya pendidikan tinggi semakin tidak terjangkau oleh masyarakat. Ketimpangan kualitas antar-PTN juga akan semakin dalam karena hanya PTN yang berpendapatan tinggi saja yang bisa menarik dosen berkualitas.

Pemerintah telah berjanji tukin dosen ASN akan segera dibayar dan prosesnya tinggal menunggu peraturan presiden (perpres). Semoga janji ini benar-benar dipenuhi, sehingga komitmen pemerintah untuk membiayai pendidikan tinggi sesuai amanat undang-undang dapat terwujud, dan kesejahteraan dosen pun tidak lagi jauh panggang dari api.The Conversation

Rizqy Amelia Zein, Lecturer in Social Psychology, Universitas Airlangga

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Redaktur: -

Penulis: -

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.