Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Minggu, 29 Des 2024, 12:15 WIB

Demokrasi yang Substantif Belum Terwujud

Suasana diskusi Praksis, Jumat (28/12)

Foto: Dok. Praksis

JAKARTA - Akhir-akhir ini sering dikatakan bahwa sedang terjadi apa yang disebut sebagai “de-demokrasi”, “democracy backsliding” atau “erosi demokrasi”. Namun demikian, ungkapan-ungkapan seperti itu sebenarnya kurang tepat. Alasannya, karena ungkapan-ungkapan demikian mengandaikan bahwa sebelumnyapernah ada demokrasi yang substantif tetapi yang sekarang ini sedang mengalami kemerosotan. Padahaldalam kenyataannya selama ini demokrasi yang substantif belum pernah sepenuhnya ada. Secara prosedural di Indonesia memang sudah ada demokrasi. Misalnya ditandai oleh adanya pemilihan umum, pemilihan tingkat lokal, lembaga-lembaga perwakilan, dan sebagainya. Namun demikian demokrasi yang bersifat substantif belum pernah menjadi kenyataan. Demokrasi substantif menuntut adanya partisipasi aktif secara sederajad dari setiap warganegara dan kelompok masyarakat sebagai dasar bagi legitimasi suatu kekuasaan atau pemerintahan.

Pietas

Demikian antara lain pokok-pokok gagasan yang disampaikan Stefanus Hendrianto SJsaat berbicara sebagai narasumber tunggal dalam seri ke-4 diskusi Forum Praksis (Pusat Riset dan Advokasi Serikat Jesus) di Jakarta (27/12/2024). Terkait demokrasi yang substantif, doktor bidang hukum konstitusional lulusan University of Washington (AS) tersebut mengacu pada konsep demokrasi dalam tradisi Yunani dan Romawi. Dalam tradisi Yunani, sebagaimana misalnya dikemukakan oleh Plato dan Aristoteles, demokrasi mensyaratkan adanya civic friendship. Dalam pelaksanaan demokrasi di tingkat polis atau negara-kota, civic friendship merupakan pilar utama penyangga sistem demokrasi. Persahabatan yang dimaksud bukanlah persahabatan yang dasarnya sekedar pleasure atau rasa senang, bukan pula kepentingan sesaat, melainkan nilai-nlai kebaikan bersama. Supaya friendship atau persahabatan tersebut bisa terwujud, ia perlu ditopang oleh trust atau kepercayaan antar warga masyarakat. Bersamaan dengan itu, friendship atau persahabatan mensyaratkan adanya keadilan, sehingga persahabatan dan keadilan tidak bisa dipisahkan satu sama lain.

Sementara itu pada jaman Romawi kuno, sebagaimana yang misalnya dikemukakan oleh Cicero tentang konsep demokrasi republikan, menurut Hendrianto, demokrasi yang dianut waktu itu adalah demokrasi yang dasarnya pietas, yakni sebuah keutamaan (virtue) pokok dalam sistem sosial-politiknya. Bertolak dari konsep pietas ini setiap warganegara merasa memiliki kewajiban dan dedikasi (a sense of duty and devotion) yang tinggi terhadap para dewata, keluarga, dan negara. Kewajiban terhadap para dewata antara lain diungkapkan dalam bentuk kesetiaan mengikuti ritual-ritual keagamaan dan penghormatan terhadap tradisi. Kewajiban kepada keluarga diekspresikan dalam sikap hormat dan taat terhadap orangtua dan leluhur, serta bakti kepada rumah-tangga masing-masing. Sedang kewajiban kepada negara diwujudkan dalam bentuk siap berkorban demi kepentingan negara, sikap hormat terhadap hukum dan tradisi, serta kesediaan untuk lebih mengutamakan kebaikan bersama atau common good daripada kepentingan diri. Pada satu sisi sikap hormat yang berlebihan pada orangtua, tradisi leluhur, serta elit politik sebagai representasi negara dapat menghambat pelaksanaan demokrasi secara murni. Pada sisi lain konsep pietas saat itu telah mampu untuk secara bertahap mendorong partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemerintahan—di tengah konsep feodal dan monarkikal yang masih umum berlaku saat itu.

Samar-samar

Menurut Romo Hendri, demikian ia biasa akrab disapa, dalam arti tertentu konsep pietas dapat digunakan untuk melawan konsep demokrasi Schumpeterian, di mana demokrasi direduksi menjadi masalah perwakilan. Sekaligus juga bisa menjawab kritik Alexis de Tocqueville terhadap praktik demokrasi Amerika Serikat yang waktu itu banyak diwarnai individualisme yang selanjutnya melahirkan despot-despot yang bisa menyetir kepentingan warga. Ia selanjutnya menyampaikan bahwa sampai pada batas-batas tertentu konsep pietas itu dapat dilaksanakan di Indonesia untuk mewujudkan demokrasi yang lebih bersifat substantif. Tentu dengan penyesuaian-penyesuaian tertentu, termasuk menggantikan kewajiban dan dedikasi terhadap para dewata menjadi kewajiban dan dedikasi kepada Tuhan.

Sebagai mantan aktivis Reformasi 1998 Romo Hendri berpendapat bahwa reformasi demokrasi yang terjadi di Indonesia sejak runtuhnya Orde Baru masih terbatas pada demokrasi Schumpeterian. Saat itu memang terjadi penggantian sistem pemerintahan yang otoritarian menjadi sistem pemerintahan demokratis, tetapi bentuk demokrasinya masih demokrasi elektoral. Belum terwujud demokrasi substantif, di mana—menggunakan istilah Aristoteles— telos atau tujuan utama-nya jelas. Menyinggung praktik demokrasi di Indonesia pada periode 1950-1959, dosen hukum di Creighton University (AS) ini mengatakan bahwa pada satu sisi saat itu memang terjadi perdebatan yang “keras” antar masing-masing kelompok politik yang ada. Pada sisi lain, menurutnya, masing-masing kelompok itu memiliki ideologi dan “telos” yang jelas untuk Republik Indonesia. Sementara itu, selama 20 tahun terakhir ini, dalam pandangannya, “telos” dari masing-masing kelompok politik yang ada masih terkesan blurry alias samar-samar.

Menanggapi pertanyaan salah satu peserta Forum Praksis, Romo Hendri mengatakan bahwa sistem “dapil” yang ada sekarang ini sering melenceng. Seseorang dipilih oleh rakyat dari daerah pemilihan tertentu, tetapi setelah resmi menjadi wakil rakyat di tingkat nasional ia tidak bisa lagi dikontrol oleh warga dari wilayah yang telah memilihnya. Hal ini agak berbeda dengan di Inggris, di mana rakyat dari daerah pemilihan tertentu diperbolehkan menemui para wakilnya di lobi gedung Parlemen guna mengingatkan sekaligus menyampaikan aspirasi mereka. Dari situ lalu muncul istilah lobbying atau me-lobi.

Redaktur: Eko S

Penulis: Eko S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.