Daya Beli Masih Terseok-seok, Masyarakat Harus Hadapi Kenaikan PPN
Dampak Kenaikan PPN terhadap Daya Beli Harus Lebih Diwaspadai
Foto: istimewaJAKARTA – Dampak kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen terhadap daya beli masyarakat lebih perlu diwaspadai ketimbang efeknya terhadap inflasi. Sebab, konsumsi rumah tangga selama ini berkontribusi besar bagi pertumbuhan ekonomi nasional, di saat ekspor dan investasi belum bisa diandalkan.
Pemerintah secara resmi menetapkan tarif PPN 12 persen mulai diberlakukan pada 1 Januari 2025. Pada periode bersamaan, pemerintah akan meluncurkan beberapa paket kebijakan insentif, di antaranya pemberian bantuan pangan 10 kilogram (kg) dan diskon tarif listrik 50 persen selama Januari–Februari 2025. Pemberian insentif bantuan pangan dan diskon tarif listrik yang hanya dua bulan itu ditujukan untuk meredam dampak inflasi akibat PPN 12 persen.
Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, menilai dampak inflasi yang sesungguhnya dari kenaikan PPN ini tidak besar, apalagi saat ini daya beli masyarakat sedang melemah. Karena itu, kebijakan tersebut perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan daya beli masyarakat tetap terjaga.
Wijayanto mengingatkan dampak kenaikan PPN terhadap daya beli masyarakat lebih perlu diwaspadai dibandingkan dampaknya terhadap inflasi. “Berbagai insentif tersebut cukup efektif menahan laju inflasi asalkan diterapkan sesuai rencana. Apalagi saat ini daya beli masyarakat kita masih belum recover, masih terseok-seok. Saya justru lebih khawatir impact terhadap daya beli dari pada impact inflasi,” terang Wijayanto, di Jakarta, Selasa (17/12).
Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi nasional pada triwulan III-2024 kehilangan daya pacunya. Data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru menunjukkan produk domestik bruto (PDB) pada triwulan III-2024 tumbuh 4,95 dibandingkan periode sama tahun lalu (yoy) atau di bawah capaian pada triwulan II-2024 sebesar 5,05 persen.
Pelambatan pertumbuhan ekonomi tersebut dipengaruhi pelemahan konsumsi rumah tangga menjadi 4,91 persen (yoy) pada triwulan III-2024 dari 4,93 persen pada triwulan II-2024. Komponen tersebut berkontribusi sebesar 53,08 persen terhadap PDB pada triwulan III.
Pertahankan Proyeksi
Sementara itu, Bank Indonesia (BI) mempertahankan proyeksi pertumbuhan ekonomi nasional tahun ini di kisaran 4,7–5,5 persen. Menurut bank sentral, pertumbuhan ekonomi nasional didukung oleh permintaan domestik serta investasi tumbuh positif pada triwulan IV 2024, yang ditopang penyelesaian berbagai proyek strategis nasional (PSN) dan investasi swasta, yang didukung insentif dari pemerintah.
“Konsumsi pemerintah lebih tinggi seiring dengan kenaikan aktivitas belanja pemerintah pada akhir tahun. Sementara itu, ekspor nonmigas diprakirakan melambat dipengaruhi ekonomi global yang belum kuat,” kata Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI bulan Desember 2024, di Jakarta, Rabu.
Ke depan, ujar Perry, berbagai upaya perlu terus ditempuh untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, baik dari sisi permintaan maupun sisi penawaran. Karena itu, Bank Indonesia memperkuat bauran kebijakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan bersinergi erat dengan kebijakan stimulus fiskal pemerintah.
Upaya tersebut didukung dengan optimalisasi stimulus kebijakan makroprudensial dan akselerasi digitalisasi transaksi pembayaran yang ditempuh Bank Indonesia. "Dari sisi penawaran, kebijakan reformasi struktural pemerintah perlu terus diperkuat untuk mendorong sektor ekonomi yang dapat menyerap tenaga kerja," kata Perry.
Berita Trending
- 1 Satu Dekade Transformasi, BPJS Ketenagakerjaan Torehkan Capaian Positif
- 2 Pengamat: Rendahnya Pengetahuan Masyarakat Dieksploitasi "Pemain" Judol
- 3 Usut Tuntas, Kejari Maluku Tenggara Sita 37 Dokumen Dugaan Korupsi Dana Hibah
- 4 KPI Minta Siaran Lagu ‘Indonesia Raya’ di Televisi dan Radio Digalakkan
- 5 Ini Sejumlah Kebijakan untuk Pengaturan Mobilitas Natal dan Tahun Baru