Celios: 19 PLTU Batubara Berpotensi jadi Objek Pertukaran Utang Pemerintah
Direktur Esekutif Celios Bhima Yudisthira, mengatakan, komitmen Presiden Prabowo di KTT G20 Brasil untuk beralih dari pembangkit batubara dalam 15 tahun kedepan perlu segera diwujudkan
Foto: istimewaJAKARTA – Komitmen Presiden Prabowo di KTT G20 Brasil untuk beralih dari pembangkit batubara dalam 15 tahun kedepan perlu segera diwujudkan. Center of Economic and Law Studies (Celios) mengusulkan agar menggunakan skema debt swap (penukaran utang) untuk mendanai pensiun dini belasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU).
Direktur Esekutif Celios Bhima Yudisthira dalam policy brief berjudul “Pertukaran Utang dengan Pemensiunan PLTU batu bara: Manuver Fiskal dalam Mendukung Ambisi Transisi Energi” menyebut estimasi kebutuhan pemensiunan PLTU batubara hingga 2050 diperkirakan sebesar Rp444 triliun.
Tantangan terbesar dalam pemensiunan PLTU batubara adalah keterbatasan anggaran pemerintah. Kewajiban pembayaran bunga dan utang jatuh tempo tahun depan diperkirakan mencapai 45% dari total APBN, sehingga manuver untuk program transisi energi kian terbatas.
Di sisi yang lain, negara maju dalam COP29 di Baku, Azerbaijan menyepakati skema NCQG (New Collective Quantified Goals) dimana negara maju berkewajiban membantu pendanaan US$300 miliar setara Rp4.800 triliun per tahun. Bantuan pendanaan ini diharapkan berbentuk skema di luar pinjaman baru, salah satunya adalah debt swap atau pertukaran utang.
"Indonesia bisa menyiasati kondisi tersebut dengan melakukan penukaran utang atau debt swapsebesar 94,8 triliun rupiah untuk mendanai pensiun dini PLTU yang berbasis batu bara,"ucap Bhima di Jakarta, Sabtu (7/12)
Skenario debt swap ditempuh guna memberi kesempatan negara maju membayar utang iklimnya kepada negara berkembang seperti Indonesia.
Debt swap, jelasnya, bisa menjadi alternatif pembiayaan pensiun dini PLTU batu bara, mengingat kebutuhan investasi aksi transisi energi tersebut diestimasi menembus 444 triliun rupiah sampai 2055.
Apalagi negara maju telah menyepakati New Collective Quantified Goals (NCQG) atau komitmen pembiayaan iklim sebesar 300 miliar dollar AS untuk mendukung negara berkembang beradaptasi menghadapi krisis iklim.
Indonesia, papar Bhima, mempunyai utang 94,8 triliun rupiah dalam bentuk pinjaman ke negara maju dan lembaga multilateral yang akan jatuh tempo pada 2025. “Menteri Keuangan dan
Menteri ESDM bisa membuka ruang negosiasi utang untuk ditukar menjadi dana pensiun PLTU batu bara. Negara maju juga diuntungkan karena konsisten menjalankan skema NCQG membayar utang iklimnya,” kata Bhima
Redaktur: Muchamad Ismail
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Semangat Awal Tahun 2025 by IDN Times: Bersama Menuju Indonesia yang Lebih Kuat dan Berdaya Saing
- 2 Harus Kerja Keras untuk Mewujudkan, Revisi Paket UU Politik Tantangan 100 Hari Prabowo
- 3 Pemerintah Dorong Swasta untuk Bangun Pembangkit Listrik
- 4 Sah Ini Penegasannya, Proyek Strategis Nasional di PIK 2 Hanya Terkait Pengembangan Ekowisata Tropical Coastland
- 5 Ayo Perkuat EBT, Presiden Prabowo Yakin RI Tak Lagi Impor BBM pada 2030
Berita Terkini
- Pertamina JBT Jamin Pasokan BBM Aman di Tengah Bencana Alam di Jawa Tengah
- Januari 2025, Dinkes Pekanbaru Catat 32 Kasus DBD
- Banjir Merendam Dua Sekolah di Klaten
- Glitter Debutkan EP "We Are Glitter" Siap Jadi Hits Anak Masa Kini
- Program Palu Mandiri Tangguh Pangan Harus Dilaksanakan secara Konsisten