![](https://koran-jakarta.com/img/site-logo-white.png)
Beratnya Perjuangan Guru Kader Muhammadiyah Mengabdi di Pedalaman Papua, 170 Km dari Kota Merauke
Guru kader Muhammadiyah bersama salah satu anak didiknya.
Foto: IstimewaMERAUKE - Tidak banyak guru yang bersedia ditempatkan di daerah 3T. Jika diberikan kesempatan untuk memilih, mereka akan lebih cenderung memilih untuk ditempatkan di kota-kota besar yang memiliki akses mudah, dan terjangkau.
Namun tidak demikian dengan Asyiah Dewi Khairina, kader sekaligus Bendahara Umum Pimpinan Daerah Nasyiatul Aisyiyah (PDNA) Merauke yang sejak 10 tahun lalu, memilih mengabdikan diri sebagai guru di SMK Negeri 1 Okaba, di Kampung Es Wambi, Distrik Okaba, Kabupaten Merauke, Papua. Untuk diketahui, Aisyiyah adalah organisasi perempuan di PP Muhammadiyah.
Sekolahnya berjarak 170 km dari Kota Merauke, medan tempuh menuju ke sana juga tidak bisa dibilang mudah. Sebab harus menyeberangi sungai-sungai menggunakan perahu bermotor, dan jalan darat berlumpur yang bisa ditempuh menggunakan sepeda motor.
"Medan tempuh yang berat harus menyeberangi sungai menggunakan perahu bermotor, serta jalan darat yang lewati dengan sepeda motor harus bisa meloloskan putaran roda di jalan berlumpur," ungkapnya dikutip dari rilis PP Muhammadiyah, Rabu (29/9).
Beratnya medan yang harus ditempuh tidak sebanding dengan perhatian yang diberikan pemerintah kepadanya dan guru-guru lain yang mendidik putra-putri bangsa di daerah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal), sebab sudah sejak 2 tahun terakhir tunjangan bagi guru daerah terpencil tidak lagi diterimanya.
Meski demikian, hal itu tidak menjadi beban, sebab mendidik anak-anak terlebih di daerah 3T bagi Dewi Khairina adalah panggilan jiwa, sekaligus lahan dakwah. Sebagaimana pesan Alm. Eddy Soegono, ayahnya yang merupakan aktivis Muhammadiyah di Merauke yang berasal dari Gombong, Jawa Tengah.
Dewi Khairin menceritakan, saat menerima Surat Keputusan (SK) CPNS dan ditempatkan di pedalaman, ayahnya lah yang menguatkan dirinya supaya betah dan mau mengabdi di pedalaman Merauke, Papua. Melalui metode pendidikanalakader Muhammadiyah, sang ayah percaya putrinya mampu mengemban amanah tersebut.
"Pergilah mengabdi ke sana jangan buru-buru minta mutasi, jadikan tempat tugasmu sebagai ladang dakwah baru, kalau di kota sudah banyak yang berdakwah kasihan saudaramu yang di pedalaman….." ucap Dewi mengenang sang ayah.
".….Sehelai daun kering tidak akan jatuh ke tanah melainkan sudah dengan izin Allah, apalagi kamu yang sudah jadi kader terasah," imbuh Sang Ayah sambil memberikan sebilah parang dan sepasang sepatu boot kepada Dewi waktu itu.
Dengan segala kesibukan tugas sebagai abdi negara, Dewi Khairina sama sekali tidak melupakan Muhammadiyah yang sudah dianggap sebagai rumah untuk pulang, dan mengabdi tanpa henti. Dia bersyukur, memiliki atasan seorang Katolik taat yang tetap mengizinkannya untuk aktif di persyarikatan.
"Untuk tugas negara dan tugas persyarikatan saya harus pintar membagi waktu, Alhamdulillah atasan saya juga seorang aktivis Katolik dan paham tugas-tugas aktivis selama tidak merugikan dan melalaikan tugas di sekolah, saya diizinkan untuk berkegiatan," sambung Dewi.
Perempuan kelahiran Merauke 36 tahun silam ini menambahkan, di Persyarikatan Muhammadiyah dirinya terpaksa harus merangkap banyak jabatan sebab kurangnya sumber daya manusia di sana. Ia menjabat sebagai Sekretaris Umum Pimpinan Daerah 'Aisyiyah (PDA) Merauke, bendahara umum PDNA Merauke, tergabung di Kokamwati, TSPM Pimda 196 Merauke, dan MDMC.
Di saat pandemi Covid-19 melanda seluruh negeri, Dewi Khairani tidak diam, dirinya bersama suami dan anaknya menyediakan diri sebagai relawan pemulasaraan jenazah Covid-19. Di bawah naungan Muhammadiyah Disaster Management Center (MDMC) Merauke, dirinya beserta anak dan suami melayani masyarakat korban jiwa akibat ganasnya Covid-19.
Di tempat tugasnya yang 99 persen Orang Asli Papua (OAP) sudah ada yang beragama Islam. Akan tetapi keislaman mereka masih mengikuti adat istiadat, mereka tidak salat, dan puasa, namun mereka tetap dikhitan dan tidak makan daging anjing dan babi seperti masyarakat sekelilingnya.
Ini menjadi keprihatinan tersendiri, oleh karena itu perlahan-lahan Dewi Khairani mendampingi minoritas muslim sekitarnya. Mulai mengenalkan huruf-huruf hijaiyah kepada anak-anak muslim, mengajarkan keteladanan seperti sikap Rasulullah SAW, tidak disangka ada OAP yang tertarik dan bersedia dengan ikhlas, tanpa paksaan mengucapkan dua kalimat syahadat atas bimbingannya.
"Di Kampung Es Wambi tempat tugas saya, kepala adat melarang pembangunan Mushola. Jangankan mushola, gereja Kristen protestan saja tidak boleh. Jadi cuma ada gereja katolik saja. Ada mushola di kampung sebelah jaraknya 13 km. Jadi kalau guru guru mau sholat Jumat harus ke kecamatan (distrik) jaraknya 18 KM," tandasnya.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Eko S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Kepala Otorita IKN Pastikan Anggaran untuk IKN Tidak Dipangkas, tapi Akan Lapor Menkeu
- 2 Masyarakat Bisa Sedikit Lega, Wamentan Jamin Stok daging untuk Ramadan dan Lebaran aman
- 3 SPMB Harus Lebih Fleksibel daripada PPDB
- 4 Polemik Pagar Laut, DPR akan Panggil KKP
- 5 Peningkatan PDB Per Kapita Hanya Dinikmati Sebagian Kecil Kelompok Ekonomi