Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Berantas Korupsi Kepala Daerah

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Mahar dan politik uang membuat ongkos kontestasi mahal. Biaya pemenangan pilkada level kabupaten atau kota bisa mencapai 20 miliar rupiah. Di level provinsi, jumlahnya bisa menembus 100 miliar rupiah. Angka yang fantastis dan tentu tidak sebanding dengan gaji kepala daerah. Konsekuensinya, banyak kepala daerah terjebak pada perilaku koruptif untuk mengembalikan modal pencalonannya.

Masih banyak para kepala daerah yang ingin selalu dilayani, diistemewakan dan cenderung korup. Mental demikian merupakan warisan model manajemen birokrasi Orde Baru. Di masa Orde Baru, relasi pejabat-birokrat dan masyarakat sipil bersifat hirarkis. Pejabat berada di posisi atas sebagai patron yang harus dilayani, mendapat upeti, beragam fasilitas, serta keistimewaan.

Sedangkan masyarakat diposisikan sebagai klien yang berkewajiban melayani. Relasi patron-klien inilah yang membuat praktik suap dan gratifikasi di kalangan pejabat daerah marak. Pemberian uang atau barang kepada kepala atau pejabat daerah oleh masyarakat sipil untuk memudahkan urusan.

Pengawasan publik atas kinerja pemerintah daerah tidak optimal. Dalam sistem demokrasi, pengawasan atas kekuasaan amat diperlukan agar penguasa tidak bertindak semena-mena, termasuk berperilaku koruptif. Dalam konteks pemerintahan daerah, mekanisme check and balances antarlembaga pemerintah kurang berjalan maksimal.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif kerapkali juga terjebak ke dalam perilaku yang sama, korup. Fatalnya, di saat yang sama, publik juga bersikap apatis, bahkan permisif pada perilaku koruptif kepala daerah.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top