Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Berantas Korupsi Kepala Daerah

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

oleh Desi Ratriyanti

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (26/7) lalu menangkap Bupati Kudus, Muhammad Tamzil, atas dugaan suap jual beli jabatan. KPK juga mengamankan delapan orang berikut uang tunai 250 juta rupiah. Kasus ini ironis, mengingat Tamil merupakan residivis kasus korupsi dana bantuan sarana dan prasarana pendidikan tahun anggaran 2004-2005.

Kala itu, dia juga menjabat Bupati Kudus periode 2003-2008. Kasus yang baru diungkap tahun 2015 itu membuatnya mendekam di penjara selama 22 bulan dan denda sebesar 100 juta rupiah.

Namun, penjara tidak memberi efek jera padanya. Terbukti, setelah terpilih kembali sebagai Bupati Kudus, dia mengulangi praktik kotor tersebut.

Tamzil adalah kepala daerah keempat yang terkena OTT KPK sepanjang tahun 2019. Sebelumnya, KPK juga menangkap Gubernur Kepulauan Riau, Nurdin Basirun, Bupati Mesuji, Khamami, dan Bupati Talaud, Sri Wahyuni. Ketiganya ditangkap karena menerima fee atas sejumlah proyek infrastruktur.

Praktik suap dan korupsi kepala daerah terus marak dalam satu dasawarsa terakhir. KPK mencatat, dari tahun 2004 hingga 2019 terdapat 114 kepala daerah menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka adalah 17 gubernur, 74 bupati dan 23 wali kota. Perkara hukum paling banyak menjerat kepala daerah karena suap atau gratifiaksi dengan 81 kasus. Kemudian, penyalahgunaan anggaran 20 kasus dan korupsi barang jasa 13 kasus.

Maraknya kasus korupsi kepala daerah bisa dibilang sebagai anomali penerapan sistem desentralisasi. Pascareformasi 1998, daerah diberi kewenangan untuk mengelola keuangan dan pendapatan, tanpa intervensi pemerintah pusat. Bahkan sejak tahun 2005, daerah diberi kewenangan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.

Pemberlakuan otonomi bidang ekonomi dan politik ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan potensi daerah serta memangkas kesenjangan antardaerah. Ironisnya, 20 tahun lebih era reformasi bergulir dan 10 tahun lebih sistem pilkada langsung dipraktikkan, sejumlah persoalan pelik masih membelit daerah.

Salah satunya kemarakan korupsi kalangan kepala daerah karena kurang optimalnya kinerja partai politik (parpol) sebagai institusi yang berwenang merekrut calon kepala daerah.

Tiap gelaran pilkada, nyaris tidak ada mekanisme yang jelas tentang penjarigan calon kepala daerah oleh parpol. Fase kandidasi calon kepala daerah dilakukan tertutup dan tidak melibatkan partisipasi publik. Praktik yang lazim terjadi, calon kepala daerah memberi sejumlah uang sebagai mahar politik untuk membeli tiket pencalonan.

Kemudian, budaya politik uang dalam pemilihan kepala daerah yang sulit dihilangkan lantaran sebagian besar masyarakat belum memiliki kesadaran proses demokrasi bersih. Masyarakat kerap lebih mementingkan iming-iming imbalan uang atau barang dari kandidat ketimbang menilai program kerja serta rekam jejaknya. Alhasil, pertarungan elektoral di pilkada kerap ditentukan kekuatan modal finansial antarkandidat.

Mahar dan politik uang membuat ongkos kontestasi mahal. Biaya pemenangan pilkada level kabupaten atau kota bisa mencapai 20 miliar rupiah. Di level provinsi, jumlahnya bisa menembus 100 miliar rupiah. Angka yang fantastis dan tentu tidak sebanding dengan gaji kepala daerah. Konsekuensinya, banyak kepala daerah terjebak pada perilaku koruptif untuk mengembalikan modal pencalonannya.

Masih banyak para kepala daerah yang ingin selalu dilayani, diistemewakan dan cenderung korup. Mental demikian merupakan warisan model manajemen birokrasi Orde Baru. Di masa Orde Baru, relasi pejabat-birokrat dan masyarakat sipil bersifat hirarkis. Pejabat berada di posisi atas sebagai patron yang harus dilayani, mendapat upeti, beragam fasilitas, serta keistimewaan.

Sedangkan masyarakat diposisikan sebagai klien yang berkewajiban melayani. Relasi patron-klien inilah yang membuat praktik suap dan gratifikasi di kalangan pejabat daerah marak. Pemberian uang atau barang kepada kepala atau pejabat daerah oleh masyarakat sipil untuk memudahkan urusan.

Pengawasan publik atas kinerja pemerintah daerah tidak optimal. Dalam sistem demokrasi, pengawasan atas kekuasaan amat diperlukan agar penguasa tidak bertindak semena-mena, termasuk berperilaku koruptif. Dalam konteks pemerintahan daerah, mekanisme check and balances antarlembaga pemerintah kurang berjalan maksimal.

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang mestinya mengawasi kinerja eksekutif kerapkali juga terjebak ke dalam perilaku yang sama, korup. Fatalnya, di saat yang sama, publik juga bersikap apatis, bahkan permisif pada perilaku koruptif kepala daerah.

Solusi

Terus berulangnya kasus kepala daerah terseret korupsi atau suap menandai bahwa sistem otonomi serta pilkada langsung belum sepenuhnya berhasil menciptakan tata kelola pemerintahan daerah yang bersih. Sebaliknya, otonomi daerah dan pilkada langsung justru acapkali melahirkan para pemimpin bermental korup.

Memberantas budaya korup di kalangan kepala daerah memang sulit, namun juga bukan mustahil. Diperlukan pendekatan yuridis, sosiologis dan politis untuk menyelesaikan persoalan ini. Secara yuridis, diperlukan terobosan hukum agar kepala daerah korup dihukum dan denda maksimal. Cabut hak politiknya. Hukuman dan denda ringan gagal melahirkan efek jera.

Selain itu, tidak hak politik yang tak dicabut memungkinkan mereka kembali ke dunia politik dan mengulangi perbuatannya seperti Bupati Kudus, Tamzil, tadi.

Sedangkan secara politis, diperlukan reformasi internal parpol untuk mengembalikan peran dan fungsinya dalam kontek demokrasi lokal. Parpol idealnya tidak hanya menjadi semacam kendaraan politik kandidat kepala daerah.

Lebih dari itu, dia mesti mampu menjadi institusi politik yang menjaring calon kepala daerah dengan kompetensi dan rekam jejak yang kredibel. Praktik mahar politik harus diakhiri. Jika tidak, bisa dipastikan pilkada akan menjadi pertarungan modal dan uang, alih-alih gagasan dan program kerja.

Tidak kalah penting ialah secara sosiologis, masyarakat perlu membangun kesadaran untuk berani menolak dan mengatakan tidak pada praktik politik uang. Peran publik dalam membangun demokrasi bisa dimulai dengan menjadi pemilih cerdas-rasional.

Mereka harus memilih pemimpin berdasar kompetensi, integritas, serta rekam jejak yang baik. Saatnya, rakyat meninggalkan tradisi jual-beli suara dalam setiap perhelatan pilkada. Mereka harus sadar, politik uang pangkal budaya korup dan suap yang membuat pemerintahan daerah bobrok. Penulis Lulusan Ilmu Pemerintahan Undip

Komentar

Komentar
()

Top