Kamis, 06 Mar 2025, 00:00 WIB

Beban Hidup Berat, Konsumsi Rumah Tangga Kian Melemah, Pertumbuhan Ekonomi Melambat

Warga menukarkan uang rupiah baru di mobil kas keliling Bank Indonesia (BI) di KP3B, Kota Serang, Banten, Rabu (5/3).

Foto: ANTARA/Muhammad Bagus Khoirunas

JAKARTA – Berbagai tekanan, baik eksternal maupun internal telah menggerus daya beli masyarakat kelompok menengah. Fenomena ini bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi nasional lantaran konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 55 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia.

Peneliti Sustainability Learning Center (SLC), Hafidz Arfandi melihat selama Januari-Februari pertumbuhan relatif lesu karena daya beli masyarakat tertekan, terutama oleh dampak kenaikan harga bahan pokok dan ketidakpastian kebijakan pemerintah, termasuk efisiensi anggaran pemerintah.

Pada Maret ini dengan masuk bulan Ramadan, Hafidz memperkirakan konsumsi rumah tangga kembali meningkat, terutama menjelang Lebaran nanti. Hal ini berpotensi mendongkrak pertumbuhan secara signifikan.

Namun, momen lebaran dan libur panjang yang diharapkan mendongkrak pertumbuhan justru jatuh pada awal April sehingga lonjakan ekonominya akan terasa pada kuartal II-2025. Dari sisi industri, index prompt manufaktur yang menunjukan optimisme sektor manufaktur, Januari-Februari berada di kisaran 53, lebih rendah dari kuartal I-2024 yang mencapai 58.

"Artinya terjadi sedikit penurunan di kalangan produsen, sedang puncak panen raya kemungkinan jatuh Maret-April sehingga agaknya ekonomi di perdesaan juga baru akan bergeliat pada awal kuartal II," ungkap Hafidz, Rabu (5/3).

Karena itu, lanjutnya, kemungkinan pertumbuhan kuartal I-2025 memang akan lebih rendah dari tahun lalu yang mencapai 5,11 persen, dan peluang tumbuh baru akan terasa di kuartal II.

Perhatian Utama

Pengamat Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta, Freesca Syafitri mengatakan tekanan pada konsumsi rumah tangga menjadi perhatian utama, mengingat sektor ini menyumbang lebih dari 55 persen terhadap PDB Indonesia. Indonesia, ujarnya, sedang menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas ekonomi pada 2025.

Setelah melewati masa pemulihan dari pandemi Covid-19, banyak pihak berharap bahwa tahun ini akan menjadi momentum kebangkitan ekonomi yang lebih kuat. Namun, kenyataannya justru sebaliknya. "Pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 diperkirakan melambat, bahkan bisa jatuh di bawah 5 persen. Penyebab utamanya adalah turunnya daya beli masyarakat, yang diperparah oleh berkurangnya stimulus ekonomi dan bantuan sosial (bansos)," ujarnya.

Kondisi ini tentu menjadi pukulan bagi perekonomian nasional yang sebelumnya berusaha bangkit pasca Covid-19. Selama 2022 hingga 2024, Indonesia mengalami pemulihan bertahap dengan sektor konsumsi sebagai motor penggerak utama. Namun, tanpa dukungan stimulus dan dengan meningkatnya angka pengangguran pada 2025, daya beli masyarakat semakin tergerus.

"Situasi ini menciptakan lingkaran yang sulit diputus dengan turunnya konsumsi, perusahaan pun mengurangi produksi, yang berujung pada PHK dan semakin melemahkan daya beli," paparnya.

Dalam menghadapi situasi ini menurut Freesca, kebijakan ekonomi pemerintah harus lebih proaktif. Pemangkasan stimulus yang terlalu tajam tanpa adanya kompensasi dalam bentuk kebijakan alternatif dapat menjadi pemicu perlambatan ekonomi yang lebih dalam.

Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 bisa di bawah 5,0 persen. Salah satu faktor utama adalah menurunnya daya beli masyarakat akibat berkurangnya stimulus ekonomi berupa bantuan sosial (bansos) yang sebelumnya hadir pada awal 2024.

"Jika kita berbicara data year-on-year (yoy), sulit bagi daya beli rakyat pada awal 2025 untuk melampaui awal 2024, mengingat pada awal 2024 puluhan triliun bansos dibagikan dalam rangka Pilpres dan Pileg. Faktor ini tidak lagi muncul di awal 2025," ujar Wijayanto.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan: