Bank Sentral Eropa Tetap Menahan Suku Bunga Acuan
Foto: Sumber: European Central Bank - AFPJAKARTA - Bank Sentral Eropa atau European Central Bank/ECB), pada Kamis (18/7), dalam pertemuan rutin bulanan pada pekan lalu, memutuskan untuk tidak mengubah tingkat suku bunga utama atau acuan. Kebijakan mempertahankan suku bunga itu karena masih adanya tekanan kenaikan harga atau inflasi.
Presiden ECB, Christine Lagarde, dalam keterangan persnya di Kantor Pusat ECB di Frankfurt, Jerman, pekan lalu, mengatakan tingkat suku bunga main refinancing operations, serta suku bunga pada marginal lending facility dan depocit facility tidak berubah, masing-masing di level 4,25 persen, 4,5 persen, dan 3,75 persen.
Keputusan itu sembari mengonfirmasi bahwa penilaian sebelumnya perihal prospek inflasi jangka menengah telah didukung oleh data-data baru, dan ECB siap mempertahankan tingkat suku bunga yang cukup ketat selama diperlukan.
ECB menyebut beberapa ukuran inflasi dasar mengalami peningkatan pada Mei dan tekanan harga masih tercatat tinggi di kawasan itu. "Inflasi umum kemungkinan tetap berada di atas target hingga tahun depan," sebut pernyataan ECB.
Dalam sebuah perubahan kebijakan yang penting, ECB memutuskan untuk memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada Juni, pemangkasan suku bunga pertamanya sejak September 2019.
Bank sentral itu menegaskan pihaknya tidak berkomitmen sebelumnya pada jalur suku bunga tertentu, sebuah indikasi bahwa pengurangan kebijakan moneternya yang ketat kemungkinan tidak akan linear mengingat tekanan harga masih tinggi.
Dampak ke Indonesia
Menanggapi kebijakan ECB mempertahankan suku bunga acuan, Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan tentu hal itu akan berdampak pada kebijakan moneter dalam negeri dan juga ke sektor riil.
Di bidang moneter, kebijakan ECB menahan suku bunga harus diperhitungkan Bank Indonesia. Sebab, bagaimana pun zona Euro merupakan salah satu penentu ekonomi dunia selain ekonomi Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
"Jika suku bunga acuan ECB tetap tinggi maka negara-negara emerging market seperti Indonesia jangan terburu-buru menurunkan suku bunga, minimal menahan agar tetap kompetitif," kata Badiul.
Selain di bidang keuangan, dampaknya ke perekonomian Indonesia adalah ke utang, terutama dalam pembayaran suku bunga. Begitu juga ke neraca perdagangan yang mencatat aktivitas ekspor-impor Indonesia dengan zona Euro.
"Impor selama ini yang cukup kuat dari negara Eropa seperti Swiss adalah di bidang teknologi, alat kesehatan, ekonomi digital, dan teknologi rendah karbon. Kalau suku bunga mereka tetap tinggi, berarti harga yang dibayarkan untuk mengimpor barang dari sana tetap tinggi," kata Badiul.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Indef, Esther Sri Astuti, mengatakan tingkat suku bunga berkisar 3-4 persen di Eropa lumayan tinggi, sehingga harus diimbangi agar tidak terjadi pelarian modal dari pasar keuangan dalam negeri.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Mitra Strategis IKN, Tata Kelola Wisata Samarinda Diperkuat
- 2 Cagub Khofifah Ajak Masyarakat Teladani Jasa Pahlawan Hadapi Tantangan Global
- 3 Hasil Survei Unggul, Cawagub Hendi Tekankan Netralitas Aparat di Pilgub Jateng
- 4 Atasi Krisis Air Bersih di Bali, Koster Tawarkan Pipanisasi Sedangkan Muliawan Desalinasi
- 5 DPR Minta Pemerintah Beri Perhatian Khusus Peternak Sapi Perah
Berita Terkini
- Prabowo Dorong Perusahaan AS Investasi di Indonesia
- Trump Nyatakan Ingin ke Indonesia Saat Ditelepon Prabowo
- Mayat Tanpa Identitas Ditemukan Mengapung di Demaga Pancang Sungai Krueng Aceh
- Para Pemimpin Dunia Hadiri KTT Iklim di Azerbaijan, Sejumlah Nama Besar Absen
- Di PSC, Indonesia Komitmen Tingkatkan Kerjasama Maritim Internasional