Jum'at, 15 Nov 2024, 00:01 WIB

Bangladesh: Perebutan Dana Iklim di COP29 Sungguh Memalukan

Pemimpin sementara Bangladesh, Muhammad Yunus, menyampaikan pidato di KTT COP29 di Azerbaijan.

Foto: Istimewa

BAKU – Pelaksana Tugas Perdana Menteri Bangladesh, Muhammad Yunus, pada hari Rabu (13/11)  mengecam pertikaian dana yang memalukan oleh negara-negara miskin di perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa, Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change (COP29), menuntut negara-negara kaya membayar masalah yang mereka sebabkan.

"Saya pikir itu sangat memalukan, bagi negara untuk datang dan meminta uang untuk memperbaiki (masalah) yang disebabkan oleh negara lain. Mengapa kita harus diseret ke sini untuk berunding? Kau tahu masalahnya," kata peraih Nobel Perdamaian itu, dalam sebuah wawancara di sela-sela perundingan iklim PBB di Azerbaijan.

Dikutip dari The Straits Times, negara-negara berharap untuk mencapai kesepakatan di COP29 yang secara signifikan meningkatkan pendanaan untuk aksi iklim di negara-negara berkembang seperti Bangladesh, yang paling tidak bertanggung jawab terhadap pemanasan global tetapi paling bergantung padanya.

Beberapa pihak menginginkan angka yang ada sebesar 100 miliar dollar AS per tahun dikalikan 10 kali lipat untuk menutupi biaya penghentian ketergantungan ekonomi terhadap bahan bakar fosil dan adaptasi terhadap bencana iklim.

Namun, negara-negara kaya yang diwajibkan membayar, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa, enggan berkomitmen dalam jumlah besar dan menginginkan pihak lain ikut menyumbang, sementara para negosiator hanya membuat sedikit kemajuan di COP29.

Yunus yang merupakan pelopor keuangan mikro yang menjadi pemimpin sementara Bangladesh pada bulan Agustus setelah tergulingnya pemimpin otokratis Sheikh Hasina, mengatakan tawar-menawar di COP29 merendahkan martabat. “Ini bukan pasar ikan,” katanya.

Ia mengatakan negara-negara kaya yang peningkatan kemakmurannya dan emisi karbon yang terkait dengannya sangat bertanggung jawab atas pemanasan global hingga saat ini, harus memberikan angka di atas meja.

“Anda yang menentukan berapa banyak yang dibutuhkan, bukan saya. Ini bukan soal tawar-menawar. Ini bukan soal negosiasi. Ini soal penyelesaian,” kata Yunus.

Bangladesh merupakan salah satu negara yang paling rentan terhadap perubahan iklim, dengan banjir dan topan yang sering melanda negara dataran rendah berpenduduk sekitar 170 juta orang tersebut.

Pada bulan Agustus, banjir menewaskan sedikitnya 40 orang dan memaksa hampir 300.000 penduduk mencari perlindungan di tempat penampungan darurat.

Redaktur: Marcellus Widiarto

Penulis: Antara

Tag Terkait:

Bagikan: