APBN Sudah Jebol Rp5.000 Triliun akibat Obligasi Rekap BLBI
Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) BLBI DPD RI, H Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim
Foto: ISTIMEWAJAKARTA - Beban keuangan negara yang semakin berat bukan hanya disebabkan oleh tambahan defisit untuk menangani pandemi Covid-19 sejak 2020 hingga 2022 ini, tetapi jauh sebelumnya masih ada warisan kesalahan di masa lalu yaitu penempatan obligasi rekapitalisasi perbankan saat krisis moneter 1998.
Sejak ditempatkan di beberapa bank untuk memperkuat permodalan, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) terus menganggarkan pembayaran bunga obligasi tersebut minimal 60 triliun rupiah per tahun.
Dengan asumsi bunga berbunga atau bunga majemuk, total Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ditambah obligasi rekap yang semula hanya sekitar 600 triliun lebih kini diperkirakan sudah menjebol APBN 5.000 triliun rupiah. Pada 2019 lalu, total BLBI dan obligasi rekap plus bunga berbunga sudah tercatat sekitar 4.500 triliun rupiah.
Besarnya uang negara yang dijebol para konglomerat melalui bank mereka yang memegang obligasi tersebut sudah seharusnya dicarikan solusi untuk menghentikan tindakan perampokan uang negara secara terselubung dengan segala macam dalih seperti biaya krisis.
Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) BLBI DPD RI, H Pangeran Syarif Abdurrahman Bahasyim, mengatakan akan memanggil manajemen atau pemilik Bank Central Asia (BCA) guna mengklarifikasi kebenaran kalau obligasi rekap telah membangkrutkan negara.
"Kita pastikan segera panggil BCA. Pansus bekerja untuk menghentikan kerugian negara. Kami sebagai wakil rakyat tentu akan berusaha sekuat tenaga menyetop kerugian negara tersebut. Apalagi bunga utangnya sampai hari ini masih berlangsung. Coba bayangkan, puluhan tahun negara dirugikan dengan jumlah yang fantastis. Ini gila betul," kata Pangeran.
Senator asal Kalimantan Selatan yang akrab disapa Habib Banua itu mengaku akan terus menggali informasi dan bekerja sama dengan narasumber, khususnya bidang keuangan negara untuk mengetahui rinci perihal BLBI itu.
Upaya menghentikan kerugian negara itu sangat urgent, mengingat posisi utang pemerintah seperti dilaporkan Kementerian Keuangan per Februari 2022 sudah mencapai 7.014,58 triliun rupiah dengan rasio utang pemerintah terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 40,17 persen.
Wakil Presiden periode 2014-2019, Jusuf Kalla, sebelumnya mengatakan pemerintah ke depan sangat terbebani dengan pembayaran utang karena bunganya saja jika dirata-rata 6 persen per tahun, harus mengalokasikan 400 triliun rupiah tiap tahun dari APBN.
Ditanggung Rakyat
Guru Besar Ekonomi dari Universitas Airlangga Surabaya, Suroso Imam Zadjuli, mengatakan utang negara yang menggunung pada akhirnya akan ditanggung oleh rakyat. Oleh sebab itu, segala bentuk utang negara seperti BLBI harus dituntaskan agar tidak semakin membebani bangsa Indonesia di masa depan.
"Utang pemerintah sekarang sangat besar, belum termasuk utang BUMN yang juga adalah milik pemerintah juga. Soal BLBI harus diselesaikan dengan segera agar tidak memberatkan negara ke depannya. Karena pada kenyataannya, yang menanggung itu semua bukan sekadar pemimpin yang berikutnya, tapi adalah rakyat," kata Suroso.
Sekarang dampaknya sudah terlihat, subsidi-subsidi seperti BBM dicabut, pajak-pajak dinaikkan, harga kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak naik, padahal harusnya ini dikendalikan dan tetap terjangkau.
"Semua utang BLBI harus ditagih, yang belum lunas harus bayar, dan yang sudah 'dilunaskan' dengan surat keterangan lunas, tapi di PPATK hitungannya belum lunas, juga tetap harus bayar. Tinggal sekarang, KPK-nya harus lebih tegas. Kalau ini semua belum berubah, artinya tidak ada itu yang namanya accountability government transparency," kata Suroso.
Secara terpisah, Manajer Riset Seknas Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), Badiul Hadi, menegaskan kalau pembayaran obligasi rekap BLBI membuat beban APBN kian berat. Jika tidak dihentikan, APBN bisa jebol.
"Obligor saja tidak lunasi kewajibannya kepada negara, negara juga semestinya menghentikan pembayaran itu. Jangan sampai membebani negara untuk jangka panjang, apalagi setiap tahun alami kenaikan," kata Badiul.
Langkah menyehatkan APBN itu harus diambil secepat mungkin agar beban utang tidak semakin membengkak. Sementara di sisi lain, pemerintah kesulitan menambah pundi-pundi negara.
Utang berdampak pada besarnya belanja bunga utang dengan rerata rasio mencapai 17 persen 2015-2021. Rerata rasio tersebut cukup tinggi jika dibandingkan dengan rerata rasio belanja lainnya, seperti rerata rasio belanja bantuan sosial 7 persen, rerata rasio belanja modal 13 persen, dan rerata rasio belanja subsidi 13 persen.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Eko S, Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Hati Hati, Banyak Pengguna yang Sebarkan Konten Berbahaya di Medsos
- 2 Ayo Terbitkan Perppu untuk Anulir PPN 12 Persen Akan Tunjukkan Keberpihakan Presiden ke Rakyat
- 3 Cegah Pencurian, Polres Jakbar Masih Tampung Kendaraan Bagi Warga yang Pulang Kampung
- 4 Buruan, Wajib Pajak Mulai Bisa Login ke Coretax DJP
- 5 Tanda-tanda Alam Apa Sampai Harimau Sumatera Muncul di Pasaman dengan Perilaku Unik
Berita Terkini
- BPBD DKI Jakarta Ingatkan Warga Pesisir Waspadai Potensi Banjir Rob
- Ketegangan Politik di Korsel Terus Meningkat, Kelompok Oposisi Ajukan Mosi Pemakzulan terhadap PM Han
- Di Tengah Ancaman Pengambilalihan Terusan Panama, Trump Calonkan Mantan Pejabat Florida Menjadi Dubes AS untuk Panama
- Semoga Bantuan Kemanusiaan Segera Disalurkan, Bencana Kelaparan di Sudan Meluas
- Keren Inovasi Ini, Ilmuwan Tiongkok Temukan Target Molekuler Baru Ciptakan Pestisida Aman