Koran-jakarta.com || Kamis, 27 Mar 2025, 16:42 WIB

Tips untuk Menghindari Hantu yang Ditakuti Pendaki: Hipotermia

  • Universitas Airlangga (Unair)
  • Hipotermia

Pendakian merupakan salah satu hobi dengan tren yang terus meningkat. Libur lebaran menjadi kesempatan sebagian besar orang untuk mengeksplor alam dan menjajal tantangan puncak gunung yang menjadi impian. Pendaki harus menyadari risiko yang mengintai dalam ketinggian ekstrem. Salah satu bahaya utama yang mengintai adalah hipotermia.Kenali Kondisi Hipotermia

Tips untuk Menghindari Hantu yang Ditakuti Pendaki: Hipotermia

Ket. Libur lebaran menjadi kesempatan sebagian orang untuk menjajal tantangan puncak gunung yang menjadi impian.

Doc: Istimewa Tips untuk Menghindari Hantu yang Ditakuti Pendaki: Hipotermia

Dosen Ilmu Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Ilmu Kesehatan, Kedokteran dan Ilmu Alam, Universitas Airlangga, Rizki Amalia, mengatakan hipotermia adalah kondisi ketika suhu tubuh turun dibawah 35 derajat celcius. Penurunan suhu yang ekstrim dapat berakibat fatal pada organ tubuh terutama jantung dan pembuluh darah. Hal itu terjadi melalui mekanisme perubahan konduktivitas listrik akibat dari perubahan pH dan PaO2. Serta ketidakseimbangan elektrolit darah yaitu kalium dan kalsium. Pada suhu rendah tubuh akan berusaha mempertahankan panas melalui penyempitan pembuluh darah yang awalnya akan meningkatkan tekanan darah.

“Bila hipotermia terus berlanjut akan terjadi penurunan curah jantung hingga 45 persen pada suhu 25 derajat celcius. Yang berdampak pada penurunan aliran darah ke organ vital termasuk otak,” katanya.

Pada tahap awal hipotermia, akan terjadi peningkatan denyut jantung sebagai kompensasi dari pasien yang menggigil dan vasokonstriksi. Hipotermia yang berlanjut pada suhu <32 Celcius mengakibatkan perlambatan denyut jantung dan gangguan irama jantung berbentuk prolonged QT. Pada suhu <28 C, dapat terjadi gangguan irama jantung berbahaya yaitu ventrikel fibrilasi, yang sering menjadi penyebab henti jantung pada pasien hipotermia. Di ketinggian ekstrem, tubuh menghadapi tantangan tambahan berupa hipoksia, yaitu rendahnya kadar oksigen dalam darah. Kondisi ini meningkatkan beban kerja jantung, sementara hipotermia justru memperlambat detak jantung dan mengganggu sistem listrik jantung. 

“Kombinasi hipoksia dan hipotermia dapat memicu gangguan irama jantung berbahaya yang berujung pada henti jantung,” jelasnya.

Pendaki harus memahami langkah-langkah pertolongan pertama, terutama pada lokasi dengan fasilitas medis terbatas. Jika korban belum mengalami henti jantung, segera pindahkan dari paparan dingin, ganti pakaian basah dengan yang kering, dan hangatkan tubuh secara bertahap menggunakan sleeping bag atau selimut. Berikan minuman hangat dan makanan berkalori tinggi, serta segera evakuasi ke fasilitas medis.

“Jika korban mengalami henti jantung, lakukan resusitasi jantung paru dengan kompresi dada 100-120 kali per menit. Jika tersedia gunakan automated external defibrillator untuk mengembalikan irama jantung normal. Lanjutkan RJP hingga bantuan medis tiba,” jelasnya.Persiapan Fisik dan Aklimatisasi

Pendakian ke puncak gunung pasca lebaran tentu memerlukan persiapan matang. Hal terpenting adalah melakukan skrining kesehatan bagi pendaki sebelum memulai pendakian. Terutama pendaki berusia lebih dari 40 tahun atau yang memiliki penyakit penyerta. Dokter akan mengevaluasi kondisi dari tiap individu untuk menentukan kelayakan mendaki atau tidak. Dari segi fisik lakukan latihan ketahanan kardiovaskular, kekuatan tubuh bagian bawah dan adaptasi ketinggian. Dari segi perlengkapan, pendaki harus membawa pakaian berlapis, sarung tangan,sepatu tahan cuaca ekstrem, sleeping bag, peralatan navigasi, dan makanan berkalori tinggi. Aklimatisasi adalah kunci untuk mengurangi risiko hipotermia dan komplikasi jantung saat mendaki di ketinggian. Proses tersebut membantu tubuh beradaptasi dengan kadar oksigen rendah melalui peningkatan produksi sel darah merah dan efisiensi pernapasan. 

“Dengan persiapan yang baik dan pemahaman tentang hipotermia, pendakian dapat dilakukan dengan lebih aman dan risiko kesehatan dapat diminimalkan,” ungkap dokter spesialis jantung RSUD Blambangan tersebut.

Tim Redaksi:
S
Selocahyo Basoeki Utomo S
Penulis

Like, Comment, or Share:

Tulisan Lainnya dari Selocahyo Basoeki Utomo S

Artikel Terkait