Kudeta di Myanmar
M

Ket.
Doc: AFP
iliter Myanmar melakukan kudeta, Senin (1/2) pagi. Militer menangkap penasihat negara Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, politisi dari partai pemenang pemilu, yaitu Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), serta sejumlah aktivis pro demokrasi dan HAM di Myanmar. Kudeta militer itu dilakukan di bawah komando Jenderal Min Aung Hlaing.
Pada Senin pagi itu, NLD semestinya resmi memulai memerintah untuk periode kedua. Senin pagi itu, seharusnya menjadi sidang pertama parlemen dan sejatinya juga mengesahkan hasil parlemen.
Pemilu pada November 2020 dimenangkan oleh NLD yang memperoleh lebih dari 80 persen suara. Partai pimpinan Aung San Suu Kyi itu tetap sangat populer meskipun menghadapi tudingan genosida terhadap warga Muslim Rohingya di sana. Tetapi, oposisi dukungan militer tiba-tiba mengeluarkan tuduhan adanya kecurangan pemilu.
Militer menetapkan status darurat yang berlaku selama satu tahun. Selama status darurat berlaku, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di Myanmar berada di bawah kendali pimpinan tertinggi, Panglima Militer Jenderal Min Aung Hlaing.
Kudeta militer Senin pagi itu bukan pertama kalinya terjadi di Myanmar. Hal serupa juga pernah terjadi pada akhir 1980. Makanya, kudeta Senin pagi itu bagi rakyat Myanmar seperti deja vu, kembali ke titik awal, melihat kembali ke masa lalu pada tahun 1980.
Aktivis demokrasi di Myanmar berpendapat kudeta militer itu merupakan strategi Jenderal Min Aung Hlaing agar dirinya bisatetap berkuasa setelah pensiun dari dinas ketentaraan pada Juli 2021 mendatang. Selain itu, Jenderal Min Aung Hlaing ingin mengamankan jaringan usaha di tubuh militer yang melibatkan keluarga para petinggi beserta mitra bisnisnya.
Anda mungkin tertarik:
Kudeta dan penahanan Aung San Suu Kyi menunjukkan kemunduran demokrasi di negara itu. Pemberlakukan masa darurat dan pengambilalihan kekuasaan selama satu tahun oleh militer itu akan menjadi preseden buruk bagi proses pembangunan demokrasi dan bangsa Myanmar.
Tidak ada pemilihan umum di dunia ini yang sempurna. Pemilu selalu dibayang-bayangi kekacauan dan dibebani ketidakpercayaan dan kecurangan. Tetapi perbedaan hasil pemilihan umum tidak boleh diselesaikan melalui intervensi militer. Militer Myanmar tidak boleh menjadi hakim dan penengah pemilu.
Indonesia di awal masa transisi demokrasinya juga mengalami apa yang dialami Myanmar. Krisis keuangan, separatisme, lemah institusi negara, gejolak politik, konflik sosial, dan terorisme. Tetapi Indonesia tidak pernah kehilangan kepercayaan pada demokrasi dan tak mau mundur.
Kesediaan militer Indonesia untuk sepenuhnya mundur dari politik dan menjadi militer profesional yang menjaga demokrasi mendorong keberhasilan Indonesia mempertahankan reformasi. Tetapi, hal serupa tidak terjadi di Myanmar. Pada pemilu 2015 lalu, peran militer di sistem politik Myanmar masih kuat.
Menahan Suu Kyi akan menimbulkan masalah besar di Myanmar. Suu Kyi dan NLD yang menjadi pemenang pemilu mewakili banyak rakyat Myanmar. Karena itu mereka harus diikutsertakan dalam upaya mengatasi krisis demokrasi di negara itu. Solusi sepihak tidak akan menyelesaikan masalah politik di Myanmar. Pemilihan umum di Myanmar harus diputuskan oleh kehendak rakyat dan bukan elite politik.