Xi Jinping: AI Seharusnya Bukan Permainan Negara-negara Kaya
Presiden Tiongkok, Xi Jinping
Foto: Ludovic MARIN/AFPRIO DE JANEIRO – Presiden Tiongkok, Xi Jinping, pada hari Senin (18/11), memperingatkan dalam KTT G20, di Rio de Janeiro, bahwa kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) seharusnya tidak menjadi permainan negara kaya dan orang kaya.
Dikutip dari The Straits Times, kantor berita pemerintah, Xinhua, melaporkan Xi juga menyerukan tata kelola dan kerja sama internasional yang lebih baik dalam bidang AI.
Sebelumnya pada hari itu, Xi memuji dukungan Tiongkok bagi negara-negara berkembang dan menjanjikan lebih banyak inisiatif bantuan, termasuk mengusulkan inisiatif dengan tiga anggota G20 lainnya untuk membantu negara-negara berkembang memperoleh akses yang lebih baik terhadap inovasi ilmiah dan teknologi.
Pada sesi tentang reformasi lembaga tata kelola global, pemimpin Tiongkok itu memperingatkan terhadap proteksionisme atas nama pembangunan hijau dan rendah karbon, merujuk pada tarif pada produk Tiongkok seperti kendaraan listrik dan biodiesel yang diberlakukan oleh anggota G20 yang khawatir transisi hijau ekonomi mereka dapat membuat mereka bergantung pada Tiongkok.
Sementara itu, pakar keamanan siber dari Lembaga Riset Keamanan Siber Indonesia CISSReC, Pratama Persadha, mengemukakan regulasi kecerdasan buatan harus mencakup perlindungan data yang ketat, termasuk pengaturan khusus untuk penggunaan data pribadi dalam pengembangan AI dan penerapan standar enkripsi dan teknik anonimisasi harus diwajibkan untuk melindungi data sensitif.
Aman dan Etis
Menurut Pratama, ada beberapa norma penting yang harus termaktub dalam peraturan perundang-undangan guna memastikan pengembangan dan penggunaan AI yang aman, etis, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pratama lantas memandang penting sejumlah norma dalam regulasi AI, antara lain pengembang AI harus dapat memberikan penjelasan yang jelas tentang bagaimana sistem AI bekerja, termasuk penggunaan algoritma.
Selain itu, lanjut dia, adanya kewajiban untuk menginformasikan kepada pengguna ketika mereka berinteraksi dengan AI, khususnya dalam situasi yang berpotensi mempengaruhi hak atau keputusan pengguna.
Ia menegaskan regulasi juga harus mencakup perlindungan data yang ketat, termasuk pengaturan khusus untuk penggunaan data pribadi dalam pengembangan AI serta penerapan standar enkripsi dan teknik anonimisasi harus diwajibkan untuk melindungi data sensitif.
"AI harus dapat dievaluasi berdasarkan risiko yang dapat ditimbulkan, seperti risiko diskriminasi, bias algoritma, dan dampak sosial lainnya," kata Pratama.
Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK) PTIK ini mengutarakan regulasi juga harus melarang praktik AI yang mengeksploitasi kerentanan pengguna, seperti dalam iklan manipulatif atau penyalahgunaan data biometrik.
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Shin Tae-yong: Jika Ferrari Tak Dikartu Merah, Indonesia Bisa Cetak 2 hingga 3 Gol ke Gawang Filipina
- Asyik, Stasiun Whoosh Karawang Dibuka 24 Desember
- Wow, 100 Ribu Tiket Whoosh Terjual untuk Momen Nataru
- Ketua MPR: Museum Rasulullah di Indonesia Jadi Ikon Penting Umat Islam
- Stimulasi Pemberian Kredit ke UMKM, Begini Jurus BI