Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Rabu, 22 Nov 2017, 01:00 WIB

Wayang: Lakon Tanpa Batas

Foto: Foto-foto: koran jakarta/ Eko sugiarto putro

Pameran wayang di Museum Sonobudoyo Yogya pada 5 - 11 November, dikunjungi lebih dari 2 ribu orang. Hampir sebagian besar anak-anak maupun mahasiswa yang datang ke pameran itu mengaku sangat terkesan dan berniat untuk mulai mengenali wayang.

Dalam rangka memperingati penetapan wayang sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada 7 November 2013, Dinas Kebudayaan (Disbud) DIY menggelar even bertajuk Jogja International Heritage Festival (JIHF) yang berlangsung selama 6 hari.

Acara JIHF dibuka dengan Gelar Sanding Dalang Bocah yang bertempat di Tugu Yogakarta, di mana 1.000 dalang bocah yang notabene pelajar dari berbagai sekolah di Yogyakarta, serempak bermain wayang. Selain itu juga ada pagelaran wayang kancil, wayang hip hop, wayang kulit purwa, dan juga pameran wayang di Museum Sonobudoyo bertajuk Wayang : Lakon Tanpa Batas.

Koran Jakarta melaporkan pameran wayang ini mampu menghadirkan wayang yang terlihat kuno menjadisesuatu yang kembali relevan sehingga mendapat antusiasme besar dari para pengunjung.

Saat membuka gelaran JIHF, Kepala Dinas Kebudayaan DIY Umar Priyono menjelaskan, UNESCO membagi empat fungsi budaya wayang, pertama sebagai refleksi watak manusia. Kedua sebagai nilai-nilai leluhur. Ketiga sebagai sarana pembangunan karakter. Keempat sebagai refleksi kehidupan manusia sehari-hari.

Namun, kata-kata UNESCO tersebut tak akan berarti banyak tanpa usaha yang tepat untuk terus mempertahankan kecintaan masyarakat pada budaya wayang. Dan pameran Wayang : Lakon Tanpa Batas menunjukkan bagaimana sebuah pameran bisa benar-benar menginspirasi pengunjungnya, siapapun itu. YK/R-1

Wayang Klasik yang Menggetarkan

Wayang-wayang kontemporer menunjukkan bahwa penggalian warisan masa lalu akan memunculkan sesuatu yang segar sekaligus khas Nusantara. Wayang-wayang Heri Dono misalnya mendapat pengakuan dari dunia seni rupa internasional.

Ia adalah salah satu perupa Indonesia yang paling banyak diundang dalam even Biennale Seni Rupa dunia. Sementara Wayang Bocor Eko Nugroho juga mendapat kesempatan untuk keliling AS dan mendapat audien anak muda yang sangat kekinian.

Misalnya saja, beberapa kali Wayang Bocor pentas di Bar Potato Head Bali.

Namun, di pameran Wayang : Lakon Tanpa Batas, kita juga bisa menyaksikan betapa menggetarkannya wayang kulit klasik kita. Melihat wayang kulit koleksi Paku Alam 2 pada 1785 kita menyaksikan betapa indah, rumit, dan kompleknya tatahan pada lembar kulit kerbau itu.

Teknik pewarnaan juga sangat sempurna memisahkan warna dalam lekuk-lekuk tubuh wayang yang hanya berjarak millimeter antar bagian warna yang berbeda.

Pamong yang menjaga wayang koleksi Paku Alam, Wahyu Prasetyo Aji (17), siswa SMKI Yogya, mengatakan, saat ini tak banyak lagi penatah dan penyungging wayang yang sangat mumpuni. Selain itu, kulit kerbau juga makin susah dicari dan manajemen pengelolaan kulit tanpa chemistry juga sudah jarang dilakukan.

"Dulu kulit ini ditaruh di atas perapian dapur selama berbulan-bulan dan menggunakan rencek kayu jati sebagai bahan bakar. Untuk gapit juga menggunakan tanduk kerbau, sekarang pakai bahan pengganti semua," jelasnya.

Sementara, di pameran ini, Museum Kekayon Yogya memamerkan koleksi 100 wayang Kurawa. Menjadi salah satu sajian istimewa, sebab inilah satu-satunya koleksi 100 wayang kurawa yang ada di Indonesia. Edukator Museum Kekayon, Adela Agustin Ratna, mengatakan koleksi ini sangat menarik perhatian pengunjung baik pecinta wayang maupun pelancong biasa, sebab memang tidak banyak yang tahu bagaimana bentuk atau perwujudan dari 100 Kurawa yang selama ini populer di cerita Mahabarata.

"Orang tahunya hanya Duryudana, Dursosono, Citraksa, Citraksi, makanya koleksi ini jadi yang paling banyak di foto di pameran ini," jelasnya.

Total, ada 102 Wayang Kurawa dengan 101 laki-laki dan 1 orang perempuan bernama Dursilawati, namun karena keterbatasan tempat, hanya 80 Kurawa yang ikut dalam pameran ini termasuk satu-satunya perempuan Kurawa, Dursilawati.

"Para pengunjung rata-rata langsung menggogling, mencari tahu lebih banyak soal Kurawa," kata Adela.

Pameran wayang yang hanya 6 hari ini ternyata berbuntut panjang. Googling sarananya dan pameran ini memberi tenaga inspirasi yang luar biasa besarnya. YK/R-1

Visualisasi yang Menginspirasi

Kyan Raditya Faryndra Ahza (11), Kelas 5 SD Suryodiningratan 3. Sehari-hari di rumah ia menggunakan bahasa Indonesia. Pelajaran bahasa Jawa di sekolah termasuk pelajaran yang tak mudah baginya. Ia datang ke pameran wayang pada hari terakhir pameran. Dan setelah hampir satu jam melihat-lihat wayang yang dipamerkan, ia mengaku akan lebih giat tidak hanya belajar bahasa Jawa tapi juga wayang kulit dan Mahabharata - Ramayana.

"Suka sekali, terutama yang 100 wayang kurawa. Ini pameran bagus karena lampu-lampunya itu penataannya bagus jadi terlihat indah. Saya jadi pingin belajar tentang wayang," katanya.

Pemandu pameran dari Disbud DIY, Hendro Suprantoro, mengatakan pameran ini melibatkan kurator seni rupa Suwarno Wirosetrotomo dan penanggung jawab display sekaligus pendiri Artjog, Heri Pemad. Keterlibatan dua orang pakar di bidangnya itu membuat pameran ini bisa 'bunyi' pada generasi yang sebenarnya sudah jauh dari tradisi nonton wayang kulit semalam suntuk.

Menurut Hendro, pameran ini menghadirkan wayang klasik hingga kontemporer. Dengan itu pameran ini ingin menyampaikan bahwa wayang klasik masih tetap lestari sampai hari ini dan terus menginspirasi wayang kontemporer yang saat ini berkembang pesat. Hal itu menggambarkan bahwa kita tidak perlu khawatir bagaimana kelestarian wayang ke depan sekaligus tidak perlu gelisah wayang kontemporer akan mengancam wayang klasik.

" Justru keduanya ternyata bisa saling menghidupi. Maka tema pameran ini Lakon Tanpa Batas. Ketika wayang digali sarinya maka tidak akan pernah kering bahkan tumbuh subur," jelasnya.

Di samping itu, kehadiran Heri Pemad adalah salah satu kunci penting menghadirkan pameran yang bisa memenuhi sensibilitas para penonton hari ini, penerangan yang ciamik, penempatan display yang tidak monoton, pembagian ruang antar ragam pamer yang pas, dan memenuhi kebutuhan para pengunjung untuk mengaktualisasikan dirinya melalui swafoto. Wayang klasik bisa dipadupadankan dengan wayang hip hop, wayang karya perupa Heri Dono, wayang sodo, wayang Diponegoro, Wayang Kancil, dan sebagainya.

"Pak Suwarno dan Heri Pemad, beliau berdua menghadirkan pameran dengan gaya yang mudah dinikmati secara visual sekaligus menginspirasi untuk menggali lebih dalam," kata Hendro.YK/R-1

Redaktur:

Penulis: Eko S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.