Rabu, 06 Nov 2024, 01:00 WIB

Waspadai Tren Penurunan Pertumbuhan Ekonomi

PERTUMBUHAN EKONOMI

Foto: ISTIMEWA

JAKARTA– Di kala pemerintah tengah semangat untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi ke level 8 persen pada 2029 mendatang, Badan Pusat Statistik (BPS) pun merilis pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan III-2024 yang hanya tercatat 4,95 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya atau year on year (yoy).

Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan di Jakarta, Selasa (5/11), mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III-2024 sebesar 4,95 persen yoy, turun dibandingkan pertumbuhan triwulan II sebesar 5,05 persen yoy.

“Jika dilihat (lapangan usaha) sebagai sumber pertumbuhan maka pada triwulan III-2024, industri pengolahan menjadi sumber pertumbuhan terbesar yaitu (dengan andil) sebesar 0,96 persen,” kata Amalia.

Lapangan usaha lainnya juga menjadi sumber utama pertumbuhan ekonomi, yakni konstruksi dengan andil pertumbuhan PDB sebesar 0,71 persen, perdagangan besar dan eceran serta reparasi mobil dan sepeda motor dengan andil 0,63 persen, serta informasi dan komunikasi dengan andil 0,45 persen.

Menanggapi laporan BPS itu, peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menilai pemerintah perlu untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan agar target pertumbuhan ekonomi 8 persen pemerintahan Prabowo-Gibran dapat tercapai.

“Jika kita lihat dari sektor lapangan usaha, meskipun industri pengolahan itu dapat tumbuh 4,72 persen secara tahunan, namun jika dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama di tahun lalu yang mencapai 5,20 persen, maka ini tentu perlu menjadi perhatian tersendiri pemerintah,” kata Rendy.

Hal itu karena industri pengolahan merupakan salah satu mesin perekonomian, dan ketika industri tersebut mengalami perlambatan pertumbuhan maka akan ikut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Dia juga meminta pemerintah mewaspadai tren perlambatan pertumbuhan ekonomi tahun ini dari 5,11 persen pada triwulan I, lalu 5,05 persen pada triwulan II, dan terakhir di triwulan III turun lagi menjadi 4,95 persen, meskipun secara kumulatif tahun berjalan ekonomi Indonesia masih tumbuh 5,03 persen periode Januari sampai dengan September 2024.

“Ini sebenarnya juga selaras dengan kondisi di triwulan III, di mana deflasi, kemudian juga PMI manufaktur yang datanya tidak terlalu baik, dan menggambarkan kondisi daya beli masyarakat yang melambat,” katanya.

Untuk memulihkan dan meningkatkan daya beli masyarakat, sangat penting bagi pemerintah dan Bank Indonesia untuk mengimplementasikan kebijakan yang kolaboratif dan efektif.

“Terutama kalau bicara konteks di sisa tahun ini, realisasi belanja pemerintah saya kira juga akan ikut baik langsung maupun tidak langsung memengaruhi target pertumbuhan ekonomi setidaknya untuk 2024,” katanya.

1730828831_c35675df3cac1c8ae98c.jpg

Cepat Demanufakturisasi

Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unika Atma Jaya, YB. Suhartoko, mengatakan dengan dasar teori perubahan struktural Simon Kuznets, Indonesia mengalami terlalu cepat demanufakturisasi akibat cepatnya pertumbuhan sektor jasa yang didukung oleh teknologi informasi.

Sayangnya, penciptaan nilai tambah sektor jasa itu kecil, sehingga kontribusi terhadap pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) kecil.

Selain itu, keterkaitan ke depan dan belakang sektor jasa juga rendah sehingga multiplier effect-nya juga kecil dibanding industri manufaktur atau pengolahan. Kalau keterkaitannya kecil maka kontribusi terhadap pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja juga kecil.

Menurut dia, untuk mencapai pertumbuhan tinggi, mau tidak mau harus dibangun industri manufaktur yang kuat yang menciptakan nilai tambah yang besar, mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkage) terhadap industri penyedia input-nya dan keterkaitan ke depan (forward linkage) terhadap industri pengguna input-nya.

“Kalau kondisi ini diupayakan, niscaya multiplier effect-nya tinggi yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi tinggi dan penyerapan banyak tenaga kerja,” kata Suhartoko.

Diminta terpisah, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan industri pengolahan memang perlu mendapat perhatian jika pemerintah bermaksud mendongkrak pertumbuhan ekonomi.

“Industri pengolahan punya peran yang cukup penting dalam perekonomian, dalam triwulan II tahun 2024 saja sudah menyumbang sekitar 18 persen dari PDB,” katanya.

Selain meningkatkan pembangunan ekonomi suatu negara, juga efektif menyerap tenaga kerja sehingga efektif mengatasi pengangguran guna mencapai pertumbuhan yang lebih merata.

Redaktur: Vitto Budi

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S

Tag Terkait:

Bagikan: