Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 18 Mei 2024, 09:00 WIB

Viral Konflik Wisatawan vs Pemangku Adat di Jogja dan Bali, Apa Kata Pakar Pariwisata UGM?

Foto: Dok. Kemenkeu RI

Baru-baru ini, konflik antara turis India dan pemangku adat di Pura Tirta Empul, Bali, menjadi viral. Turis tersebut bersikeras berdoa di area terlarang dengan mengabaikan larangan adat. Kasus serupa terjadi di Makam Raja-raja Kraton Jogja dan Solo di Imogiri, di mana guide wisata mengeluhkan tarif yang dianggap tidak wajar.

M Baiquni, pakar Manajemen Destinasi Wisata UGM, menyatakan bahwa konflik antara wisatawan dan destinasi 'non man made' semakin sering terjadi. Tidak hanya di Bali, tapi juga di berbagai 'non man made' yang biasanya jadi destinasi spiritual, di Indonesia.

Contoh terbesar sebelumnya adalah usulan tarif mahal untuk naik ke Candi Borobudur bertujuan membatasi ekses kerusakan bangunan candi karena kebanyakan pengunjung, namun dianggap diskriminatif oleh publik.

Baiquni menjelaskan bahwa yang terjadi di Tirta Empul, Makam Raja di Imogiri, di Borobudur, dan banyak destinasi 'non man made' di Indonesia, adalah bagaimana mempertemukan perspektif cultural heritage dengan kepentingan wisatawan.

Di satu sisi, cultural heritage membutuhkan biaya untuk merawat bangunannya dan merawat para penjaganya yang disebut Baiquni sebagai 'The Masters' atau pemangku adat atau juru kunci. Masyarakat dan pemerintah juga memerlukan tambahan pendapatan, menggerakkan pariwisata. Tapi di sisi lain, ada banyak batasan ruang gerak bagi para pengunjung atau wisatawan di destinasi khusus 'non man made' tersebut.

Apa yang dinyatakan Baiquni mengenai The Masters senada dengan aktivis sosial Bali, Ni Luh Jelantik saat merepost postingan Jeg Bali di instagramnya, yang memberi caption "Perkuat desa adat. Lindungi pemangku agar tetap bisa menjaga taksu Bali. Buat bapak India, terimakasih telah support Bali. Mohon taati aturan di masing-masing desa. Matur suksma."

"Dan Dunia punya Standar Etika Kepariwisataan Dunia sebagai fundamental bagaimana mempertemukan kepentingan Cultral Heritage dan wisatawan. Itu yang musti disosialisasikan kembali, kepada semua pemangku kepentingan termasuk wisatawan," kata pakar bergelar profesor ini saat dihubungi Kamis (16/5).

Kabar Baik Wisata

Di balik ramainya destinasi-destinasi 'non man made' yang seringkali bersifat spiritual atau cultural heritage akhir-akhir ini musti dilihat sebagai kabar baik bagi industri pariwisata.

M Baiquni mengatakan mengenai value keberlanjutan lingkungan, penghargaan terhadap adat istiadat, dan 'The Masters" atau pemangku adat atau juru kunci, yang terkandung dalam setiap destinasi-destinasi Cultural Heritage.

Sehingga menurutnya, isu mengenai pengelolaan yang lebih profesional seperti yang tertuang dalam Panduan Global Kode Etik Kepariwisataan bisa diimplementasi di lapangan.

"Bagaimana kita sebagai host, juru kunci harus bagaimana, wisawatan yang beda kultur harus bagaimana. Kalau ada konflik harus bagaimana, itu semua saya kira memang perlu untuk dikelola dan dimajamen dengan baik dan profesional."

"Terutama di destinasi-destinasi kecil seperti sumber air, pura, makam, itu bagaimana pengunjung bisa menghormati 'The Masters" nya seperti dunia kampus menghargai narasumber saat seminar misalnya. Ini penting karena sesungguhnya yang kecil-kecil itu kan memang peran utamanya ada di 'The Masters' nya," papar Baiquni.

Redaktur: Eko S

Penulis: Eko S

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.