Uni Eropa Tidak Menginginkan Perang Dagang dengan Tiongkok
Duta Besar Uni Eropa untuk Tiongkok, Jorge Toledo
Foto: AFP/Jade GAOSHANGHAI – Duta Besar Uni Eropa untuk Tiongkok, Jorge Toledo, pada hari Sabtu (9/11), mengatakan blok tersebut tidak menginginkan perang dagang dengan Tiongkok, tetapi perundingan selama lima tahun tidak menghasilkan kemajuan nyata, seraya menambahkan kekhawatiran tumbuh atas akses pasar Tiongkok untuk peralatan medis Eropa.
Dikutip dari The Straits Times, ketegangan perdagangan antara blok tersebut dan Tiongkok telah meningkat selama setahun terakhir setelah Uni Eropa meluncurkan penyelidikan terhadap impor kendaraan listrik atau electric vehicle (EV) buatan Tiongkok yang mendorong Beijing untuk meluncurkan penyelidikan terhadap industri daging babi dan susu Eropa serta mengekang impor brendi. Tarif baru Uni Eropa hingga 45,3 persen pada impor kendaraan listrik Tiongkok mulai berlaku minggu lalu.
Selain itu, Uni Eropa meluncurkan penyelidikan terhadap pengadaan peralatan medis publik oleh Tiongkok pada bulan April, yang dengan cepat dikritik Beijing saat itu. Berbicara di sebuah acara di Shanghai, Jorge Toledo mengatakan pembicaraan dengan pembuat perangkat medis Eropa telah menunjukkan mereka didiskriminasi dalam pengadaan publik Tiongkok.
“Kami telah menemukan bahwa jelas perusahaan- perusahaan Eropa, yang telah memproduksi peralatan medis di Tiongkok selama dua dekade terakhir, mengalami diskriminasi terhadap pesaing mereka di Tiongkok dalam pengadaan umum,” kata Toledo pada perayaan ulang tahun ke-30 Sekolah Bisnis Internasional Tiongkok Eropa. “Jika itu benar, dan kami tahu itu benar, kami akan memperlakukan perusahaanperusahaan Tiongkok di Eropa dengan cara yang sama seperti kami diperlakukan di sini,” katanya.
Persaingan Adil
Toledo mengatakan pihaknya tidak menginginkan perang dagang. “Kami hanya menginginkan transparansi. Kami menginginkan persaingan yang adil,” tukasnya. Sebelumnya, Duta Besar Tiongkok untuk Amerika Serikat (AS), Xie Feng, pada hari Kamis (7/11), mengatakan tidak ada pemenang dalam perang tarif atau perang dagang, tidak pula dalam perang atas ilmu pengetahuan dan teknologi atau industri.
Sementara kemenangan Donald Trump menjadi Presiden AS memunculkan kemungkinan konfrontasi sengit lainnya dengan Tiongkok.
Dikutip dari The Straits Times, Xie mengatakan perbedaan antara kedua negara seharusnya menjadi kekuatan pendorong untuk pertukaran dan pembelajaran bersama daripada alasan untuk penolakan dan konfrontasi serta keberhasilan masing-masing negara merupakan peluang bagi negara lain.
Berbicara dalam sebuah jamuan makan malam yang diselenggarakan oleh Dewan Bisnis AS-Tiongkok di Shanghai, Xie tidak secara langsung membahas pemilu AS atau Trump, yang sebelumnya mengenakan tarif pada barang- barang Tiongkok senilai miliaran dollar AS sebelum menyetujui gencatan senjata pada Januari 2020.
Pada tahun 2019, ekonomi Tiongkok tumbuh 6 persen, yang terlemah dalam hampir 30 tahun, terbebani oleh perang dagang dengan AS. Perekonomian semakin mendingin sejak saat itu, dengan pemerintah menargetkan ekspansi sederhana sekitar 5 persen pada tahun 2024, sehingga perekonomian berada dalam posisi yang tidak menguntungkan jika ada ketegangan perdagangan baru setelah Trump menjabat pada Januari.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Electricity Connect 2024, Momentum Kemandirian dan Ketahanan Energi Nasional
- 2 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 3 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik
- 4 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 5 Tim Putra LavAni Kembali Tembus Grand Final Usai Bungkam Indomaret
Berita Terkini
- Komnas HAM Apresiasi Pemindahan Mary Jane ke Filipina
- Petak Umpet, Film Urban Legend Mencekam Siap Menghantui Bioskop Mulai 21 November
- Polri Tindak 85 Influencer yang Promosikan Judi Online
- Heboh! Mayat Penambang Emas Ditemukan Tertelungkup di Tepi Sungai Bone, Gorontalo
- Penobatan Raja Charles Habiskan Biaya Pajak Inggris Rp1,4 Triliun