Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

"Unen-unen" Pengujung Abad XX

A   A   A   Pengaturan Font

Buku ini terbit tepat waktu kala Indonesia memasuki gelanggang Pemilu Presiden 2019 yang panas dan rentan sikut-sikutan. Agar tetap eling membangun republik, elite politik dan masyarakat butuh unen-unen pakar. Dalam kebudayaan Jawa, unen-unen berarti selarik kalimat yang memuat kearifan, kebajikan, dan pedoman hidup biar masyarakat bertindak "waras."

Tuturan akhir abad XX ini bukan berisi pitutur luhur semata, tapi juga percakapan ilmiah yang memuat pengetahuan sejarah bangsa dari hasil penggalian dan permenungan mendalam kaum cerdik pandai. Mereka adalah Sartono Kartodirdjo, Takashi Shiraishi, Ben Anderson, George Kahin, Clifford Geertz, Daniel Lev, Goenawan Mohamad, dan Bill Liddle. Sebagai editor, Baskara T Wardaya, SJ merekontekstualisasi supaya segenap gagasan dan informasi sekian tahun silam tetap relevan.

Baca Juga :
Jiwa Kesatria

Sejarawan Sartono Kartodirdjo menggarisbawahi pemikiran Ben Anderson perihal definisi nation sebagai komunitas bayang-bayang. Nation periode sekarang tidak dapat dikatakan imagined karena memang benar-benar nyata. Contoh, bendera berkibar di luar gedung negara merupakan simbol nasionalisme (hlm 4).

Kritik dialamatkan pula pada Clifford Geertz yang menelurkan kategori trikotomi: priayi, santri, dan abangan. Ini disebut agak kacau oleh Sartono perihal pemilahan kelas sosial itu lantaran priayi merupakan lawannya wong cilik. Sedang abangan lawan dari santri. Priayi bisa santri dapat pula abangan, tergantung pada wilayah kulturalnya. Kalau di Jawa Barat semua priayi itu santri. Sedang di Gunung Kidul, Ponorogo, dan Wonogiri, priayi adalah abangan. Ringkasnya, Geertz gegabah mencampur-aduk penggolongan tersebut (hlm 5).

Kendati demikian, Geertz mengusung teori politik aliran dalam momentum Pemilu 1955 merupakan sumbangan berharga bagi Indonesia. Lewat wawancara, antropolog ini menjelaskan bahwa Masyumi yang kuat di Jawa ternyata tidak memperoleh mayoritas suara dalam pemilu kala itu, hanya 21 persen. PKI mengantongi suara 16 persen. Sedangkan PNI memperoleh 22 persen dan NU 18 persen. Harapan bahwa Pemilu 1955 akan menghasilkan konsensus ternyata tidak terwujud. Bahkan pemilu malah kian memperdalam perpecahan (hlm 124).
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top