Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

"Unen-unen" Pengujung Abad XX

A   A   A   Pengaturan Font

Judul : Membangun Republik

Editor : Baskara T Wardaya

Penerbit : Galangpress

Cetakan : Desember 2017

Tebal : xxvi + 268 halaman

Buku ini terbit tepat waktu kala Indonesia memasuki gelanggang Pemilu Presiden 2019 yang panas dan rentan sikut-sikutan. Agar tetap eling membangun republik, elite politik dan masyarakat butuh unen-unen pakar. Dalam kebudayaan Jawa, unen-unen berarti selarik kalimat yang memuat kearifan, kebajikan, dan pedoman hidup biar masyarakat bertindak "waras."

Tuturan akhir abad XX ini bukan berisi pitutur luhur semata, tapi juga percakapan ilmiah yang memuat pengetahuan sejarah bangsa dari hasil penggalian dan permenungan mendalam kaum cerdik pandai. Mereka adalah Sartono Kartodirdjo, Takashi Shiraishi, Ben Anderson, George Kahin, Clifford Geertz, Daniel Lev, Goenawan Mohamad, dan Bill Liddle. Sebagai editor, Baskara T Wardaya, SJ merekontekstualisasi supaya segenap gagasan dan informasi sekian tahun silam tetap relevan.

Sejarawan Sartono Kartodirdjo menggarisbawahi pemikiran Ben Anderson perihal definisi nation sebagai komunitas bayang-bayang. Nation periode sekarang tidak dapat dikatakan imagined karena memang benar-benar nyata. Contoh, bendera berkibar di luar gedung negara merupakan simbol nasionalisme (hlm 4).

Kritik dialamatkan pula pada Clifford Geertz yang menelurkan kategori trikotomi: priayi, santri, dan abangan. Ini disebut agak kacau oleh Sartono perihal pemilahan kelas sosial itu lantaran priayi merupakan lawannya wong cilik. Sedang abangan lawan dari santri. Priayi bisa santri dapat pula abangan, tergantung pada wilayah kulturalnya. Kalau di Jawa Barat semua priayi itu santri. Sedang di Gunung Kidul, Ponorogo, dan Wonogiri, priayi adalah abangan. Ringkasnya, Geertz gegabah mencampur-aduk penggolongan tersebut (hlm 5).

Kendati demikian, Geertz mengusung teori politik aliran dalam momentum Pemilu 1955 merupakan sumbangan berharga bagi Indonesia. Lewat wawancara, antropolog ini menjelaskan bahwa Masyumi yang kuat di Jawa ternyata tidak memperoleh mayoritas suara dalam pemilu kala itu, hanya 21 persen. PKI mengantongi suara 16 persen. Sedangkan PNI memperoleh 22 persen dan NU 18 persen. Harapan bahwa Pemilu 1955 akan menghasilkan konsensus ternyata tidak terwujud. Bahkan pemilu malah kian memperdalam perpecahan (hlm 124).

Dalam buku ini, Ben Anderson memotret konsep "pemuda" yang harus dibedakan dengan "anak muda." Anak muda mereka yang berusia 15-19, atau belum kawin. Singkatnya, terminologi ini sekadar sebutan demografis. Sedangkan "pemuda" adalah sebagian dari golongan demografis yang menceburkan diri dalam arena perjuangan. Walhasil, pemuda kala itu merupakan sebutan yang terhormat.

Ciri pokok melekat pada dirinya, yakni siap terjun dalam gelombang pergerakan merebut kemerdekaan dan mendobrak kontinuitas tradisi. Mereka menikmati suasana penuh romantisme, utopisme, dan petualangan. Mereka berambut gondrong guna menandai diri sebagai manusia istimewa (hlm 50-51).

Pemuda era 1944 hingga 1946 merupakan potret ideal pemuda Indonesia. Mereka bersemangat membebaskan rakyat dari eksploitasi kolonial dan hisapan feodal. Mereka, meski seluruhnya bukan dari golongan intelektual, rela menyabung nyawa demi tegaknya kemerdekaan Indonesia.

Becermin dari kondisi aktual Indonesia, unen-unen berharga dari mereka masih relevan. Buku Membangun Republik ini ibarat kado yang membungkus unen-unen untuk dihidangkan sekaligus alarm peringatan khayalak. Pilpres 2019 mendatang bukan ajang pertikaian sesama bangsa yang memendam dendam sejak kekalahan Pilpres 2014. Ikhtiar menjaga nation jauh lebih utama ketimbang saling jegal memenuhi nafsu menduduki kursi kekuasaan.

Pemuda ideal zaman now menjadi kelompok yang turut menjaga persatuan dan harmoni sosial dengan cara memerangi hoax. mereka tdak larut memperkeruh dinamika politik kebangsaan demi secentong nasi. Dengan upaya itulah, pemuda berkontribusi membangun republik.


Diresensi Heri Priyatmoko, Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma

Komentar

Komentar
()

Top