Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Jumat, 01 Okt 2021, 06:35 WIB

Suku Pemburu Singa di Afrika yang Kini Melindungi Sang Raja Hutan

Lacak Jejak Penjaga Singa Meiteranga Kamunu Saitoti (kanan) sedang melacak jejak singa bersama seorang ketua suku di Taman Nasional Amboseli, Kenya. Berkat pengabdian Saitoti sebagai pelindung singa, kini populasi hewan buas itu meningkat sebanyak enam kali lipat.

Foto: biographic.com/Marcus Westberg

program konservasi di Kenya, Afrika, singa dan Maasai kini dapat hidup berdampingan.

Sejak dia bisa mengingat, Meiteranga Kamunu Saitoti, dari suku Maasai, bermimpi membunuh singa. Ketika ia masih kecil, singa dan hewan lainnya ada di mana-mana. Singa bergerak bebas di tanah komunal Maasai tempat Saitoti tinggal di Kenya selatan.

Tanah komunal Maasai secara geografis dekat dari Taman Nasional Amboseli, yang terkenal dengan gajah, singa, dan pemandangan Gunung Kilimanjaro. Di tanah ini, suku Maasai dan singa telah berbagi tanah ini selama berabad-abad. Maasai melihat diri mereka sendiri seperti mereka melihat singa sebagai bangsawan, superior dan tangguh. Lebih dari itu, singa selalu menjadi ukuran tertinggi dari keberanian prajurit Maasai.

Dalam sebuah ritus peralihan, seorang pemuda Maasai yang mencapai usia dewasa harus membuktikan kesiapannya menjadi seorang pejuang dengan cara membunuh seekor singa.

Saitoti membunuh singa pertamanya ketika dia berusia 19 tahun. Dia menguntit singa betina di semak-semak, lalu menusuknya dari jarak dekat. Dua anak singa betina itu melarikan diri ke semak-semak.

Ini bukan pembunuhan serampangan dan juga bukan perburuan trofi yang mengincar kesenangan semata. Membunuh singa dengan tombak dalam pertarungan tangan kosong membutuhkan keberanian besar dan mempertaruhkan nyawa.

Beberapa tahun setelah pembunuhan pertamanya, Saitoti membunuh empat singa lagi. Dia adalah salah satu pembunuh singa terbaik dari generasinya, pahlawan bagi rakyatnya. Namun masyarakat Maasai tidak bisa membayangkan hidup di dunia tanpa singa, dan mereka juga tidak mau.

"Jika tidak ada singa di tanah Maasai itu berarti sesuatu yang buruk," kata Saitoti seperti dilansirBBCedisi 15 September lalu. "Auman singa adalah tanda kebahagiaan di alam liar, dan keberuntungan," papar dia.

Tapi semua itu kemudian semuanya berubah. Populasi manusia di Amboseli telah berkembang pesat selama beberapa dekade, dan pada 2006 mencapai titik kritis ketika 100 singa Amboseli hidup bersama 35.000 Maasai dan dua juta ekor ternak.

Dengan hanya sedikit ruang tersisa untuk singa dan mangsa liar mereka, di luar kebiasaan, para singa mulai membunuhi ternak. Maasai pun mulai membunuh singa, bukan sebagai ritus peralihan, tetapi sebagai pembalasan. Itu adalah perubahan budaya mendasar yang menjadi ancaman kepunahan singa-singa Amboseli.

Setelah membunuh singa keempatnya pada 2006, Saitoti ditangkap dan dipenjara. Pembunuhan singa merupakan tindakan ilegal di Kenya sejak 1977. Tidak lama setelah Saitoti dibebaskan dari penjara, beberapa sapinya hilang. Yakin bahwa singa telah mengambil mereka, dia mengejar, melacak dua singa di semak-semak. Beberapa jam kemudian, dia merangkak dengan jarak satu atau dua meter dari singa jantan yang sedang tidur dan menusuknya di dada dengan tombak.

Untuk mencari bukti bahwa singa telah membunuh sapi-sapinya, Saitoti membelah perut binatang itu. Kosong. Tiba-tiba dia menyadari kesia-siaan membunuh singa yang tidak bersalah.

Program Konservasi

Bulan-bulan berikutnya terasa berat bagi Saitoti. Dia menjadi penyendiri. Ketika prajurit muda lainnya berangkat berburu singa, dia tinggal di rumah. Penolakannya untuk bergabung segera menjadi mencolok. Yang lain mulai mengejeknya. Mereka menyebutnya pengecut.

Sebutan itu tak menyenangkan, tetapi Saitoti bertahan. Dia tahu bahwa dia telah membunuh singa terakhirnya. Saat itulah Saitoti mendengar tentang program konservasi yang mulai beroperasi di daerah itu.

Program konservasi itu disebut Penjaga Singa. Tugasnya sederhana yaitu pejuang muda Maasai yang pernah membunuh singa menjadi pelindung singa dan komunitas Maasai. Saitoti pun pergi untuk wawancara.

Sebagai bagian dari program, warga Maasai setempat bekerja dengan dua ahli konservasi Amerika, Dr Leela Hazzah dan Dr Stephanie Dolrenry. Kedua ahli konservasi itu tahu bahwa keberhasilan program akan tergantung pada seorang pejuang terkenal dan pembunuh singa seperti Saitoti untuk memimpin.

Saitoti tidak perlu membuktikan diri. Tak lama setelah diwawancara, dia pergi keluar melacak singa sebagai Penjaga Singa. Prajurit seperti Saitoti ahli melacak singa untuk dibunuh. Sebagai penjaga singa, mereka melacak sapi-sapi yang hilang dan bahkan para penggembala muda yang tersesat di semak-semak, tempat di mana ada banyak singa.

Pada patroli pertamanya sebagai Penjaga Singa di Selenkay Conservancy, Saitoti mulai melacak singa betina tertentu. Pada awalnya, tidak ada yang mengerti mengapa singa betina ini harus menjadi singa pertama yang dia lacak. Suatu malam, dia dan Dolrenry bertemu singa betina itu, memasangkan kalung radio padanya, lalu membebaskannya.

"Secara tradisional, ketika seorang prajurit Maasai membunuh singa pertamanya, mereka diberi nama depan yang akan dipakai selamanya," kata Hazzah. Nama depan Saitoti adalah Meiteranga, yang berarti "yang pertama", dan nama itu diberikan ketika dia membunuh singa pertamanya.

"Sekarang mereka melacak seekor singa dan singa itu menjadi 'milik' mereka dengan menamainya. Penamaan menjadi jauh lebih penting daripada yang pernah kita bayangkan. Sekarang kita benar-benar melihat komunitas Maasai berkabung atas kematian singa, karena setiap singa memiliki nama dan cerita," ungkap Hazzah.

Saitoti menamai singa betina yang berhasil ditangkapnya itu Nosieki, sesuai dengan area pertemuan mereka. Saitoti tahu bahwa Nosieki, adalah anak singa yang melarikan diri dari tempat pembunuhan singa pertama Saitoti, ketika dia berusia 19 tahun. Dia telah membunuh ibu Nosieki, maka sekarang dia bersumpah untuk melindungi anaknya.

"Sebelumnya, saya membunuh karena alasan adat, untuk membuktikan bahwa saya adalah seorang pejuang," kata Saitoti. "Itu memberi saya kebanggaan yang besar. Sekarang saya juga mendapatkan kepuasan yang sama ketika saya menyelamatkan singa, sama seperti ketika saya biasa membunuh mereka," imbuh dia.

Dampak penjaga singa seperti Saitoti langsung terasa. Di daerah di mana mereka beroperasi bersama mitra konservasi lainnya, pembunuhan singa berhenti. Kepadatan populasi singa pun telah meningkat enam kali lipat dalam beberapa tahun sejak program penjaga singa dimulai.

Satu setengah dekade setelah ia mulai bekerja sebagai penjaga singa, Saitoti sekarang memasuki masa setengah pensiun, merawat ternaknya dan mewariskan pengetahuannya kepada generasi pejuang baru. Sebagai pembunuh singa, dia dan sesama penjaga singa meninggalkan warisan yang luar biasa, berubah menjadi penyelamat singa dan ternak yang sangat penting bagi kehidupan Maasai.BBC/I-1

Redaktur: Ilham Sudrajat

Penulis: Ilham Sudrajat

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.