Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Standar Produk Pala

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Tak ada bisnis yang tak punya persoalan. Walaupun pala digemari dan dibutuhkan, dalam praktiknya juga terjadi penolakan. Misalnya karena tidak memenuhi standar atau terdapat kandungan aflatoksin yang bersifat racun bagi tubuh. Data Rapid Alert System on Food and Feed (RASFF) tahun 2010-2015 memperlihatkan, jumlah kasus penolakan pala akibat kandungan ini mencapai 37 kasus.

Penolakan ini merugikan para petani dan pelaku usaha. Aflatoksin adalah jamur yang tumbuh pada biji pala. Ini disinyalemen karena kondisi lembab sehingga memungkinkan jamur berkembang biak. Penelitian untuk menguji kandungan aflatoksin telah dilakukan beberapa institusi.

Contoh, hasil penelitian Puslitbang BSN menyebutkan, hanya ada 2 dari 20 sampel yang memiliki kandungan aflatoksin sebesar 9,32 ppb dan 21,5 ppb (yang melebihi ambang batas standar). Sebagai informasi, Uni Eropa menetapkan standar maksimum kandungan aflatoksin sebesar 5 ppb.

Bila berkaca dari hasil pengujian dan penelitian tersebut, mayoritas pala tidak bermasalah alias tidak terdapat kandungan aflatoksin. Tapi ini tak bisa serta merta menjadi ukuran. Sebab bisa saja jamur muncul dalam proses pengiriman dalam kontainer. Apalagi waktu yang dibutuhkan hingga ke negara tujuan tak kurang dua pekan lamanya.

Pada poin ini, pola budidaya yang baik, penanganan pascapanen yang andal, serta pemenuhan syarat mutu standar harus dipatuhi, tak boleh dikesampingkan. Tugas pemerintah untuk sosalisasi, penyuluhan, mengedukasi masalah ini. Tapi bagi para pelaku usaha, pala harus menyadari untuk terus menjaga mutu pala.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top