Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Standar Produk Pala

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Reza Lukiawan

Dulu, pala atau rempah-rempah pada umumnya menjadi idola orang Eropa. Mungkin karena karakteristiknya yang berguna untuk menghangatkan tubuh di kala dingin menerpa. Atau menjadi komoditas prestise yang bernilai tinggi di kalangan saudagar. Bahkan, komoditas ini pernah menjadi primadona yang tak kalah dengan nilai emas zaman dulu.

Pada era penjelajahan samudera, ada semboyan 3G yang begitu terkenal (gold, glory, gospel). Gold secara harafiah maksudnya emas, tapi juga komoditas lain yang mempunyai nilai setara emas. Pala salah satunya. Memang pada saat itu, pengerukan atau eksploitasi sumber daya alam (SDA) Nusantara begitu masif dan dibawa ke negara-negara penjajah.

Tak ayal, karena banyak digemari dan bisa untuk bermacam-macam kebutuhan menyebabkan harga pala melambung tinggi. Namun, itu terjadi ratusan tahun lalu. Bagaimana sekarang? Apakah pala banyak diekspor ke Eropa? Fakta dan data perdagangan membuktikan bahwa memang eksistensi pala tetap terjaga hingga sekarang.

Bahkan, Indonesia dianggap sebagai negara eksportir pala dunia. Kompetitor utama hanya Guatemala dan India. Market share Indonesia mencapai 25,24 persen, terbesar kedua setelah Guatemala (32,61). Pala yang diekspor berupa biji utuh. Bila membedah isi buah pala, ada beberapa bagian di dalamnya.

Bagian-bagian tersebut antara lain daging buah pala, fuli, dan biji. Jadi, biji pala ini bagian inti yang dibungkus fuli berwarna merah. Sebenarnya, bagian tersebut mempunyai manfaat masing-masing. Contoh, daging buah untuk asinan, manisan, marmelade, dan selai. Fuli dapat diolah menjadi minyak atsiri. Tapi, bagian yang mempunyai nilai ekonomis tinggi terdapat pada biji pala.

Standar Mutu

Seperti komoditas hasil alam lainnya, pala juga rentan terhadap perubahan lingkungan, suhu, iklim, dan cuaca. Uniknya, pala dapat tumbuh dan berbuah sepanjang tahun. Selain itu, pemeliharaannya relatif mudah. Tanaman pala banyak tumbuh di hutan atau pekarangan secara liar, meskipun akan lebih bernilai jika dibudidayakan.

Tanaman pala banyak tumbuh di daerah-daerah Indonesia Timur. Sentra industri pala antara lain Sualwesi Utara, Maluku, dan Papua. Bahkan pala yang berasal dari Siau, Sulawesi Utara terkenal mempunyai ciri dan aroma khas yang disenangi orang asing. Tanaman ini 90 persen dikelola perkebunan rakyat, sehingga budidaya masih sangat sederhana dilakukan para petani.

Apabila budidaya dilakukan dengan baik tentunya akan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar. Apalagi pala merupakan salah satu komoditas ekspor. Keterjaminan mutu dari suatu produk tak bisa ditawar demi memenuhi persyaratan ekspor ke Eropa. Sebetulnya, pemerintah atau Kementerian Pertanian sudah mempunyai pedoman penanganan pascapanen pala.

Ini tertuang dalam Permentan Nomor 53/Permentan/OT.140/9/2012. Badan Standardisasi Nasional (BSN) juga sudah menerbitkan SNI 0006:2015 Pala. Dalam dua dokumen acuan ini dijelaskan dengan rinci tahapan-tahapan seperti sortasi, pengeringan, penyimpanan, dan pengemasan. Dari sisi SNI, telah diatur mengenai klasifikasi, syarat mutu, cara uji untuk menjaga mutu pala.

Dalam SNI terdapat pembagian kelas mutu biji pala yang telah disortir. Ada 3 kelas mutu. Muutu 1 disebut kelas ABCD. Mutu 2 disebut kelas SS dan mutu 3 (terendah) disebut kelas BWP. Pembagian ini tak hanya soal kelas dan ciri fisik biji, tetapi yang lebih penting untuk menentukan harga di pasar.

Meskipun segala acuan sudah dibuat, tak jarang pala yang dijual masih banyak kurang bermutu. Ini bisa jadi karena pola budidaya yang masih sederhana atau pengetahuan petani yang masih minim. Petani jadi abai akan hal-hal yang menjadi titik kritis untuk memenuhi syarat mutu. Ini bisa karena desakan kebutuhan ekonomi sehari-hari yang memaksa petani segera menjual pala tersebut, meski belum kering sempurna.

Harga pala antara 60.000 dan 90.000 rupiah sekilo, tergantung pada kelas mutu tadi. Pada umumnya, rantai distribusi perdagangannya melibatkan petani lalu dijual ke pengepul hingga ke tangan eksportir.

Racun Aflatoksin

Tak ada bisnis yang tak punya persoalan. Walaupun pala digemari dan dibutuhkan, dalam praktiknya juga terjadi penolakan. Misalnya karena tidak memenuhi standar atau terdapat kandungan aflatoksin yang bersifat racun bagi tubuh. Data Rapid Alert System on Food and Feed (RASFF) tahun 2010-2015 memperlihatkan, jumlah kasus penolakan pala akibat kandungan ini mencapai 37 kasus.

Penolakan ini merugikan para petani dan pelaku usaha. Aflatoksin adalah jamur yang tumbuh pada biji pala. Ini disinyalemen karena kondisi lembab sehingga memungkinkan jamur berkembang biak. Penelitian untuk menguji kandungan aflatoksin telah dilakukan beberapa institusi.

Contoh, hasil penelitian Puslitbang BSN menyebutkan, hanya ada 2 dari 20 sampel yang memiliki kandungan aflatoksin sebesar 9,32 ppb dan 21,5 ppb (yang melebihi ambang batas standar). Sebagai informasi, Uni Eropa menetapkan standar maksimum kandungan aflatoksin sebesar 5 ppb.

Bila berkaca dari hasil pengujian dan penelitian tersebut, mayoritas pala tidak bermasalah alias tidak terdapat kandungan aflatoksin. Tapi ini tak bisa serta merta menjadi ukuran. Sebab bisa saja jamur muncul dalam proses pengiriman dalam kontainer. Apalagi waktu yang dibutuhkan hingga ke negara tujuan tak kurang dua pekan lamanya.

Pada poin ini, pola budidaya yang baik, penanganan pascapanen yang andal, serta pemenuhan syarat mutu standar harus dipatuhi, tak boleh dikesampingkan. Tugas pemerintah untuk sosalisasi, penyuluhan, mengedukasi masalah ini. Tapi bagi para pelaku usaha, pala harus menyadari untuk terus menjaga mutu pala.

Dengan begitu, posisi tawar komoditas ini menjadi lebih tinggi. Sebab, bisa saja isu kandungan aflatoksin tersebut bagian dari politik perdagangan untuk menjatuhkan harga pala Indonesia. Sepertinya orang-orang Eropa sudah begitu gandrung akan pala Indonesia yang biasa disebut nutmeg. Istilah ini bahkan digunakan dalam olahraga sepakbola ketika seorang pemain berhasil mengolongi (melewatkan bola di antara kaki) lawan.

Bagi kita, negara yang mempunyai stok pala melimpah, sudah sepatutnya memperhatikan mutu. Dengan begitu, ekspor berjalan lancar dan meminimalkan terulangnya kasus penolakan.

Penulis Peneliti Badan Standardisasi Nasional

Komentar

Komentar
()

Top