Howard Bamsey, Australian National University
Banyak orang yang telah lama terlibat dalam negosiasi iklim global melihat konferensi iklim (COP) tahunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai upaya yang cacat secara fundamental. Saya termasuk di antaranya.
Pada 24 November lalu, COP 29 selesai dihelat di Baku, Azerbaijan. Ini mungkin COP ke-25 yang saya ikuti. Selama bertahun-tahun, saya menghadiri konferensi ini dalam berbagai peran, sering kali sebagai negosiator iklim untuk pemerintah Australia. Saat ini, saya hadir sebagai akademisi.
COP 29, sayangnya, tidak membuahkan terobosan. Pertemuan ini hanya menyepakati peningkatan yang cukup lumayan dalam pembiayaan iklim untuk negara berkembang, serta kesepakatan tentang aturan pasar karbon. Namun, banyak isu yang ditunda pembahasannya hingga COP 30 tahun depan.
Konferensi pun berlangsung lambat. Pertemuan tahunan ini sering dipandang hanya sebagai ajang “menang atau kalah,” sehingga dinamika diskusinya menjadi rumit. Negara-negara produsen minyak bumi dan para pelobi bekerja keras menghindari pembahasan tentang penghentian bahan bakar fosil.
Di lain pihak, tuan rumah sering kali hanya membutuhkan “kemenangan” yang acap hanya berupa “komitmen” tanpa perubahan nyata. Sebelum pembicaraan tahun ini dimulai, tokoh-tokoh besar dalam iklim sudah menyerukan reformasi proses COP.
Namun, terlepas dari kelemahannya, pertemuan COP adalah satu-satunya cara untuk mengumpulkan seluruh negara-negara di dunia dalam satu ruangan untuk merundingkan langkah-langkah menghadapi perubahan iklim.
Dalam beberapa tahun terakhir, fokus para pemimpin global terganggu oleh pandemi COVID, perang Ukraina-Rusia, dan kini konflik di Timur Tengah. Namun, apa mau dikata, perubahan iklim terus memburuk. Tidak lama lagi, kejadian di dunia nyata akan mengarahkan perhatian kita kembali ke ancaman terbesar yang akan kita hadapi.
Mengapa COP penting?
Sejak 1995, pembicaraan COP telah menjadi pendorong utama aksi global terhadap perubahan iklim. Forum ini akan terus penting hingga transisi menuju energi bersih selesai dan pembakaran bahan bakar fosil tidak lagi menjadi rutinitas kita.
Perubahan iklim hanya memiliki satu kata solusi: investasi. Setiap hari, perusahaan dan pemerintah menginvestasikan uang. Mereka bisa memilih untuk berinvestasi pada teknologi lama yang memperburuk polusi karbon, atau beralih ke alternatif yang lebih bersih.
Konferensi iklim sejauh ini berperan mengubah arah investasi. Contohnya terlihat jelas dengan banyaknya investasi untuk energi hijau, pembaruan jaringan listrik, dan efisiensi energi. Nilainya dua kali lipat lebih besar dari investasi untuk bahan bakar fosil baru. (Sayangnya, jika kita memasukkan subsidi bahan bakar fosil, gambaran ini akan sangat berbeda.)
Tahun lalu, negara-negara peserta COP akhirnya memasukkan teks tentang kebutuhan transisi dari bahan bakar fosil. Itu adalah kemenangan yang sulit. Namun malang tak dapat ditolak. Tahun ini, para diplomat dari Arab Saudi dan sekutunya berhasil menghapus segala penyebutan tentang isu tersebut.
Meskipun teks terkait bahan bakar fosil tidak mengikat, dampaknya akan cukup besar dalam ruang-ruang rapat tempat keputusan investasi disepakati.
Proses atau kemajuan?
Perencanaan konferensi iklim saat ini masih jauh dari ideal.
Setiap tahun, para peserta memilih negara baru sebagai presidensi sekaligus tuan rumah pertemuan. Pembicaraan berlangsung selama dua pekan dengan segudang agenda.
Tahun ini, tuan rumah Azerbaijan tampak kelimpungan mengendalikan agenda. Akibatnya, isu seperti Global Stocktake—yang memuat seruan penghentian bahan bakar fosil—justru ditunda hingga COP 30 tahun depan di Brasil.
Karena konferensi iklim hanya berlangsung sekali setahun, banyak agenda yang menumpuk. Ini membuat pembahasan sangat berantakan.
Setiap Juni, para negosiator iklim bertemu dalam pertemuan antar-sesi sebelum pembicaraan COP berikutnya di Bonn, Jerman—lokasi kantor pusat Sekretariat PBB untuk Perubahan Iklim.
Dalam pertemuan ini, sering kali ada upaya untuk membatalkan pengumuman yang dibuat di pembicaraan COP resmi. Kadang-kadang, upaya tersebut berhasil.
Setiap delegasi dalam COP hadir karena dua alasan. Pertama, karena pemerintah mereka berkomitmen untuk menyelesaikan masalah besar perubahan iklim. Lima atau enam negara mungkin tidak, tetapi lebih dari 190 lainnya berkomitmen.
Alasan kedua adalah melindungi kepentingan nasional masing-masing. Tentu saja, keduanya bisa dilakukan bersamaan.
Namun, ini membawa masalah tersembunyi. Banyak orang yang menghadiri acara ini, menurut saya, terlalu berfokus pada proses ketimbang hasil. Dua kali setahun, mereka menghadiri konferensi iklim dan pertemuan antar-sesi di Bonn, beranjangsana dengan teman dan kolega.
Sayangnya, silaturahmi ini justru menjadi rutinitas. Bagi beberapa orang, bahkan, prosesnya telah menjadi tujuan.
Lima ide perubahan
Pembicaraan COP memang memiliki kekurangan, tetapi kita tetap memerlukannya.
Lantas, bisakah kita memperbaikinya? Berikut lima ide dari saya:
1. Pecahkan proses negosiasi
Pertemuan lembaga-lembaga di bawah COP, seperti Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) yang salah satunya bertugas mengembangkan metodologi pengukuran emisi gas rumah kaca, memiliki misi diplomatik di kota-kota tempat sebagian besar negara. Badan ini semestinya dapat bertemu lebih sering, menciptakan tekanan dan momentum mempercepat proses dan membuahkan hasil lebih baik.
2. Rombak pengaturan kepresidenan COP
Negara tuan rumah sering mencoba mengontrol hasil. Pilihan yang lebih baik adalah negosiator dari setiap negara, yang sejatinya melakukan sebagian besar pekerjaan—dan memastikan mereka bertanggung jawab atas hasilnya.
3. Perkuat pertemuan regional
COP adalah perhelatan yang terlalu besar. Akan lebih efektif jika pembicaraan COP didelegasikan ke pertemuan regional yang lebih kecil dan rutin.
4. Kumpulkan negara-negara yang lebih ambisius
Beberapa koalisi, seperti High Ambition Coalition, bisa mendorong aksi lebih cepat. Namun, koalisi ini memerlukan kepemimpinan yang konsisten.
5. Tindakan langsung oleh negara penghasil emisi terbesar
Tahun 2015, Amerika Serikat dan Cina menemukan titik temu yang membantu suksesnya Perjanjian Paris. Pendekatan serupa dapat mengulangi keberhasilan itu.
Kebutuhan: Kemauan politik baru
Sepuluh tahun lalu, dunia tampak bersatu dalam isu iklim. Namun, meskipun Perjanjian Paris membantu mencegah skenario emisi terburuk, emisi global belum menurun.
Perubahan iklim kini masuk dalam daftar prioritas isu global yang lebih rendah. Namun, dampak yang semakin parah akan memaksa dunia untuk kembali memberikan perhatian.
Howard Bamsey, Honorary Professor, School of Regulation and Global Governance, Australian National University
Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.