Sangat Aneh, Negara Setiap Bulan Bayar Bunga Utang Obligasi Rekap ke Pengemplang BLBI
Foto: ISTIMEWA» Jika menghitung carrying cost 20 persen maka kewajiban pemegang saham itu yang harus dibayarkan ke negara menjadi 197 triliun rupiah.
» Kalau obligor kakap itu belum melunasi utang BLBI-nya ke negara, kenapa pemerintah tetap membayar bunga obligasi rekap. Hal ini yang dinilai tidak logis.
JAKARTA - Kebijakan pemerintah terus membayar bunga obligasi rekapitalisasi Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun dinilai tidak adil. Sebab dana yang dipakai tersebut bersumber dari pungutan pajak kepada seluruh rakyat yang malah dibukukan oleh pemegang obligasi rekapitalisasi sebagai pendapatan di perusahaannya.
Hal itu mengacu pada penempatan obligasi rekap di Bank BCA, sehingga pemerintah terus membayar bunga obligasi rekap yang diterima oleh pemegang obligasi. Sementara di sisi lain, salah satu pemegang saham bank, juga menerima kucuran dan BLBI yang hingga saat ini belum dibayar lunas kembali ke negara.
Jika menghitung carrying cost 20 persen maka kewajiban pemegang saham itu yang harus dibayarkan ke negara menjadi 197 triliun rupiah (dengan penghitungan bunga straight line) dan sampai saat ini pemerintah belum pernah menunjukkan bukti pembayarannya ke publik.
Anehnya, malah pemerintah tetap patuh membayar beban biaya bunga ke debitur yang sudah berlangsung selama 23 tahun dan akan terus berlanjut hingga pada 2043 mendatang. Dasarnya apa. Sementara itu, pemerintah dengan pandemi saat ini sedang mengalami kesulitan keuangan, tetapi rakyat harus bayar pajak untuk menutup utang para konglomerat.
Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya (FISIB) Universitas Trunojoyo Bangkalan, Madura, sekaligus peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC), Surokim Abdussalam, yang diminta pendapatnya mengatakan penggunaan uang rakyat untuk membayar bunga obligasi rekap BLBI sangat tidak adil. Seharusnya bukan tanggung jawab negara.
Dia pun meminta pemerintah agar berhenti berpihak dan membela para obligor dan debitor yang menikmati keuntungan di atas penderitaan rakyat tersebut.
"Praktik-praktik pemihakan itu bukan pembelajaran yang baik untuk penyelamatan aset dan ekonomi nasional, sama saja dengan memanjakan para obligor tanpa tanggung jawab sosial yang cukup untuk mempertanggungjawabkan tindakan mereka. Melihat kebijakan BLBI rasanya nyesek dan tidak adil jika dilihat dari perspektif kepentingan masyarakat kecil," kata Surokim.
Negara seolah sangat memanjakan kelompok atas dan menjadikan sebagai prioritas penyelamatan ekonomi tanpa pemerintah berhitung cermat konsekuensinya. Sementara masyarakat harus menanggungnya melalui beban pajak yang dibayarkan.
"Pemerintah terlalu memanjakan kelompok atas dan sesungguhnya itu penyelamatan ekonomi dengan jalan pintas yang potensial menimbulkan iri di mata publik," katanya.
Pemerintah seharusnya sudah bisa menghitung detail tentang potensi risiko dan konsekuensi atas kebijakan itu. Apalagi dengan jangka panjang seperti itu jika publik tahu, akan bisa melahirkan bentuk-bentuk perlawanan baru.
"Kalau ada obligor yang sudah melunasi, berapa nilai yang dia bayar, kapan, dan dimana bayarnya. Apakah sama dengan utangnya, kalau tidak berarti kan masih ada sisa utang. Berapa sisa utangnya. Ini harus transparan," katanya.
Semakin Terusik
Rasa ketidakadilan publik itu makin terusik, ketika Menko Polhukam, Mahfud MD, yang juga Ketua Dewan Pengarah Satgas BLBI menyatakan ada obligor besar yang sudah melunasi utang BLBI ke negara hanya berdasarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) yang pernah dikeluarkan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang telah melakukan audit investigasi dan hasilnya menunjukkan masih banyak kekurangan pembayaran mereka dibanding kucuran dana yang diterima. Berdasarkan audit tersebut, dengan bunga straight line nilainya sudah mencapai 197 triliun rupiah. Dengan prinsip utang, semestinya dijelaskan ke publik berapa yang sudah dibayar, kapan dan di mana pembayarannya dilakukan.
Kalau obligor kakap itu belum melunasi utang BLBI-nya ke negara, kenapa pemerintah tetap membayar bunga obligasi rekap. Hal itu yang dinilai tidak logis.
Secara terpisah, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, Esther Sri Astuti, menyayangkan langkah negara yang masih patuh membayar bunga obligasi rekap kepada konglomerat yang punya utang BLBI belum lunas.
"Seharusnya dari dulu negara tidak membayarnya," kata Esther.
Dengan kondisi keuangan negara sedang tidak sehat, tetapi malah membayarkan utang konglomerat itu tentu sangat tidak rasional karena hanya menambah kerugian.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Pemeintah Optimistis Jumlah Wisatawan Tahun Ini Melebihi 11,7 Juta Kunjungan
- 3 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
- 4 Permasalahan Pinjol Tak Kunjung Tuntas, Wakil Rakyat Ini Soroti Keseriusan Pemerintah
- 5 Meluas, KPK Geledah Kantor OJK terkait Penyidikan Dugaan Korupsi CSR BI
Berita Terkini
- Hati Hati, Ada Puluhan Titik Rawan Bencana dan Kecelakaan di Jateng
- Malam Tahun Baru, Ada Pemutaran Film di Museum Bahari
- Kaum Ibu Punya Peran Penting Tangani Stunting
- Trump Tunjuk Produser 'The Apprentice', Mark Burnett, sebagai Utusan Khusus untuk Inggris
- Presiden Prabowo Terbitkan Perpres 202/2024 tentang Pembentukan Dewan Pertahanan Nasional