Saatnya Beralih ke Praktik Pertanian yang Berkelanjutan dan Adaptif
Kementan optimis penuhi pangan dalam negeri.
Foto: antaraJAKARTA - Sistem pertanian dan distribusi secara tradisional dinilai tidak relevan lagi untuk menopang produksi beras di tengah perubahan iklim. Hal itu disampaikan Direktur Transformasi dan Hubungan Kelembagaan Perum Bulog, Sonya Mamoriska, baru-baru ini saat membuka Indonesia International Rice Conference (IIRC) 2024 di Nusa Dua, Bali, pekan lalu.
"Kita harus menyadari pertanian dan distribusi tradisional mungkin tidak lagi memadai. Jelas, kita membutuhkan untuk memastikan masa depan beras dengan solusi yang inovatif, berkelanjutan, dan kolaboratif," kata Sonya. Pakar pertanian dari UPN Veteran Jawa Timur, Surabaya, Zainal Abidin, mengatakan dalam menghadapi tren perubahan iklim, pertanian harus tetap dilakukan, namun dengan pengaturanpengaturan tertentu.
"Memang kondisi climate change menimbulkan banyak ketidakpastian bagi petani. Untuk meminimalkan ketidakpastian itu, langkah pertama yang bisa dilakukan adalah memilih tanaman atau varietas genjah, yaitu tanaman yang berumur lebih pendek, kalau padi tidak sampai melebihi 100 hari," katanya.
Langkah itu untuk menghindari kekeringan dan di sisi lain, pemerintah seharusnya menyediakan bibit sebagai bentuk dukungan ke petani. Langkah lainnya adalah mengatur pola tanam misalnya jagung karena lebih tahan kekeringan, dan pola pergiliran tanam bergilir seperti kacang hijau, karena tanaman ini tidak butuh air, hanya kelembapan tanah.
Andalkan Monokultur
Dalam kesempatan berbeda, Dosen Program Studi Agroteknologi Universitas Warmadewa (Unwar), Denpasar Bali, I Nengah Muliarta, mengakui bahwa cara bertani konvensional semakin dianggap tidak cocok di tengah perubahan iklim. Pertanian konvensional sering kali bergantung pada irigasi yang intensif.
"Dengan perubahan iklim, pola curah hujan menjadi tidak menentu, yang dapat mengakibatkan kekeringan atau banjir. Hal ini menyulitkan petani untuk mengelola sumber daya air secara efisien," ungkap I Nengah Muliarta. Praktik bertani konvensional sering melibatkan penggunaan pestisida dan pupuk kimia yang berlebihan. Dalam kondisi perubahan iklim, penggunaan bahan kimia ini dapat memperburuk pencemaran tanah dan air, serta memperlemah ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit.
"Pertanian konvensional cenderung mengandalkan monokultur (penanaman satu jenis tanaman). Hal ini mengurangi keanekaragaman hayati, yang penting untuk ketahanan ekosistem. Perubahan iklim dapat memperburuk situasi ini dengan meningkatkan kerentanan terhadap hama dan penyakit," kata Muliarta. Dia menjelaskan tanaman yang ditanam dalam sistem pertanian konvensional mungkin tidak dapat bertahan dalam kondisi suhu ekstrem yang semakin umum akibat perubahan iklim.
Hal itu mengancam hasil panen dan kualitas produk pertanian. "Banyak petani yang masih menggunakan metode tradisional tanpa mengadopsi teknologi baru yang lebih tahan terhadap perubahan iklim. Kurangnya pengetahuan tentang praktik pertanian berkelanjutan dan inovasi dapat membatasi kemampuan mereka untuk beradaptasi," tutur Muliarta. Perubahan iklim dapat mengakibatkan kerugian ekonomi bagi petani yang bergantung pada sistem pertanian konvensional.
Kerugian hasil panen dapat mengganggu ketahanan pangan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, sudah saatnya beralih ke praktik pertanian yang lebih berkelanjutan dan adaptif, seperti pertanian organik, agroforestri, dan sistem pertanian berbasis ekosistem.
Pendekatan itu tidak hanya dapat meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, tetapi juga melindungi lingkungan dan mendukung kesejahteraan masyarakat. Dia mengatakan modernisasi sangat dibutuhkan dalam pertanian di tengah perubahan iklim.
Modernisasi melalui teknologi pertanian, seperti varietas tanaman yang tahan terhadap kekeringan atau banjir, dapat membantu petani beradaptasi dengan kondisi iklim yang berubah. Ini meningkatkan peluang keberhasilan panen meskipun menghadapi cuaca ekstrem. "Penggunaan teknologi modern, seperti irigasi pintar dan sistem pemupukan presisi, memungkinkan petani untuk menggunakan air dan pupuk secara lebih efisien. Ini tidak hanya mengurangi biaya, tetapi juga meminimalkan dampak lingkungan," katanya.
Dengan teknologi modern, seperti aplikasi cuaca dan analisis data, dapat membantu petani memprediksi dan mengelola risiko yang terkait dengan perubahan iklim. Penyajian informasi yang tepat memungkinkan petani mengambil keputusan yang lebih baik terkait waktu tanam dan pemeliharaan tanaman. Modernisasi juga mencakup peningkatan pengetahuan dan keterampilan petani melalui pendidikan dan pelatihan. Hal itu membantu mereka memahami dan menerapkan teknik pertanian yang lebih efektif dan adaptif terhadap perubahan iklim.
Redaktur: Vitto Budi
Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Indonesia Tunda Peluncuran Komitmen Iklim Terbaru di COP29 Azerbaijan
- 2 Sejumlah Negara Masih Terpecah soal Penyediaan Dana Iklim
- 3 Ini Kata Pengamat Soal Wacana Terowongan Penghubung Trenggalek ke Tulungagung
- 4 Penerima LPDP Harus Berkontribusi untuk Negeri
- 5 Ini yang Dilakukan Kemnaker untuk Mendukung Industri Musik