RUU MK Harus Masukkan Hal Substansi yang Lebih Penting
Ilustrasi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) didampingi Hakim Kosntitusi Daniel Yusmic (kiri) dan Guntur Hamzah (kanan) memimpin jalannya sidang perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pemilihan Legislatif (Pileg) 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (13/5/2024). Sidang tersebut beragendakan mendengar keterangan dari KPU, Bawaslu, dan pihak terkait.
Foto: ANTARA/ Rivan Awal LinggaJAKARTA - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Periode 2003-2020 I Dewa Gede Palguna menilai terdapat substansi penting lainnya yang harus dimasukkan dalam rancangan undang-undang (RUU) MK dibandingkan soal batas usia minimal hakim dan masa jabatan hakim.
Menurutnya, perubahan terkait usia dan masa jabatan hakim tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap perkembangan lembaga peradilan tersebut.
"Apa sih signifikansinya soal-soal ini terhadap keinginan kita atau cita-cita kita untuk mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang merdeka dan independen? Kalau saya jawab jujur, sama sekali tidak ada," kata Palguna dalam acara Sembunyi-sembunyi Revisi UU MK Lagi yang dipantau secara daring di Jakarta, kemarin.
- Baca Juga: Monitoring Angkutan Natal dan Tahun Baru 2025
- Baca Juga: Pelaku Uang Palsu di UIN Harus Dihukum Berat
Apabila ingin merevisi UU MK, lanjutnya, lebih baik menambahkan substansi yang dapat meningkatkan wibawa MK dan menjawab kebutuhan publik atas lembaga tersebut.
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) itu menyebutkan tiga hal yang perlu dimasukkan dalam RUU MK. Pertama adalah melengkapi ketentuan hukum acara dalam UU MK yang telah ada.
"Hukum acara untuk apa? Salah satunya adalah tentang pemilihan calon presiden. Itu sampai saat ini masih diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi," kata dia.
Poin kedua adalah mengatur pelaksanaan kewenangan pembubaran partai politik yang saat ini masih diatur dalam Peraturan MK.
"Kalau soal-soal macam ini, menurut ilmu perundang-undangan adalah materi muatan undang-undang, bukan materi Peraturan MK. Mengapa bukan soal ini yang diselesaikan kalau hendak menghadirkan MK sebagai peradilan yang berwibawa dan benar-benar merdeka?" ujarnya.
Terakhir, ketentuan untuk mengatur terkait concrete judicial review. Ia menjelaskan, pada Pengadilan Jerman, pengujian jenis itu diajukan oleh orang yang diadili di peradilan umum kepada hakim yang mengadili karena merasa UU yang ditujukan dalam kasusnya bertentangan dengan UUD. Karena hakim peradilan biasa tidak memiliki kewenangan untuk menguji UU, maka MK Jerman bertugas menanganinya terlebih dahulu.
"Sehingga ketika kasus ini masih ditangani oleh MK Jerman, perkara ini stay dulu, tidak boleh diteruskan. Nanti kalau MK Jerman sudah mengeluarkan putusan, baru kemudian perkaranya dibuka dan diperiksa lagi. Kalau itu dinyatakan benar bertentangan dengan UUD, maka perkaranya otomatis gugur," kata dia menjelaskan.
Menurutnya, itu adalah salah satu bentuk perlindungan kepada warga negara yang bisa dimasukkan dalam RUU MK.
Diketahui, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Marsekal TNI Purn. Hadi Tjahjanto mewakili Pemerintah menyatakan telah menerima hasil pembahasan RUU MK dari Panitia Kerja (Panja) DPR RI pada Senin (13/5). RUU itu merupakan draf revisi atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Terdapat beberapa poin yang menjadi pembahasan, di antaranya mengenai persyaratan batas usia minimal hakim konstitusi dan penghapusan ketentuan peralihan masa jabatan ketua dan wakil ketua MK.
Berita Trending
Berita Terkini
- Gorontalo Utara Lakukan Pengendalian PMK pada Ternak Sapi
- Penyeberangan Merak-Bakauheni Besok Relatif Aman
- Sebanyak 700 Rumah Warga di Indragiri Hilir Dilanda Banjir
- Pertumbuhan Kapitalisasi Pasar Modal Tahun Ini Kehilangan Daya Pacu
- Bangun Ketahanan Energi, Pemerintah Segera Implementasikan Program B40 Pekan Ini