Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Sabtu, 24 Agu 2024, 00:04 WIB

RI Tertinggal Jauh dalam Memanfaatkan Energi Bersih

Foto: Sumber:Kemen ESDM - KORAN JAKARTA/ONES

JAKARTA - Negara di bagian utara dan selatan garis khatulistiwa bakal "tertawa" melihat Indonesia. Dengan posisi yang strategis, berada di garis khatulistiwa yang berlimpah sinar matahari sepanjang tahun, Indonesia malah mengimpor energi matahari. Selain itu, negara kecil seperti Singapura yang hanya menjadi broker, malah makin kaya raya karena kepasifan dan ketidakpedulian Indonesia terhadap Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Australia pada Rabu (21/9) telah memberikan lampu hijau untuk proyek energi senilai 20 miliar dolar Australia atau sekitar 13,5 miliar dolar AS, untuk dipasok ke Singapura melalui kabel bawah laut sepanjang 4.300 kilometer (2.672 mil) dari ladang Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) raksasa di utara negara itu. Tidak mustahil, suatu saat Indonesia akan membeli EBT dari Australia karena Indonesia tidak segera mulai membangun EBT, terutama yang bersumber dari sinar matahari.

Peneliti Mubyarto Institute, Awan Santosa, mengatakan jika RI benar-benar mengimpor energi surya dari Australia itu sangat keterlaluan, sebab Indonesia menyimpan potensi energi surya yang melimpah. Bisa disebut, Indonesia sebagai ladang energi baru terbarukan. Fenomena itu, menurut Awan, menunjukkan Indonesia tertinggal jauh dalam mengoptimalkan energi bersih. Padahal jika selangkah lebih cepat dari Australia, Singapura tidak perlu jauh-jauh mengimpor energi surya dari Australia, cukup dari Indonesia saja.

"Ini ironis. Masih mikirnya fosil, ributnya kelola tambang batu bara. Semestinya peluang tersebut dimanfaatkan," tegas Awan. Menurut dia, jika pemerintah benarbenar memiliki good will terkait energi bersih atau dekarbonisasi, izin yang diberikan kepada ormas keagamaan itu bukan izin usaha pertambangan atau energi kotor, tetapi energi bersih. Tetapi ini tidak, masih ribut-ribut soal energi kotor, padahal dunia sudah meninggalkan itu.

"Artinya, kita benar-benar tertinggal sehingga investasi EBT melambat dan target bauran energi sulit tercapai," paparnya. Sementara itu, pengamat ekonomi dari Universitas Surabaya (Ubaya), Wibisono Hardjopranoto, mengatakan sebagai negara pesisir dan terletak di bawah khatulistiwa, seharusnya Indonesia memanfaatkan potensi sinar matahari yang melimpah sebagai sumber energi alternatif. "Cepat atau lambat peralihan ke energi terbarukan akan terjadi karena suatu saat energi fosil pasti akan habis, tidak mungkin mengarapkannya terus-menerus.

Sementara di sisi lain, sinar surya kita sangat melimpah tentu sayang kalau tidak dimanfaatkan," kata Wibisono. Kalau negara lain yang jauh dari khatulistiwa saja bisa memanfaatkan energi suryanya, tentunya Indonesia lebih berpotensi memanennya. Semakin cepat menggali potensi asli negara kita akan lebih menguntungkan, karena bagaimanapun penggunaan energi alternatif masih membutuhkan pengalaman untuk benar-benar bisa efektif memanfaatkan potensi. "Indonesia akan rugi, kalau terus menunda," katanya.

Bayar Mahal

Menurut Anggota Ikatan Ahli Lingkungan Hidup (IALHI) Daerah Istimewa Yogyakarta, Andi Sungkowo, dampak dari polusi yang terus meningkat ini sangat nyata. Biaya pengobatan untuk penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut) akibat polusi udara terus membengkak, dan usia harapan hidup masyarakat pun semakin pendek.

"Di Jakarta, jarak pandang semakin berkurang, bahkan untuk melihat gedung di jarak 100 meter saja sudah kelabu, seolah-olah tertutup kabut. Kerusakan ini mengindikasikan betapa mendesaknya kebutuhan akan Ibu Kota Negara (IKN) baru, jauh dari polusi yang sudah mendarah daging di Jakarta," kata Andi.

Kalau pemerintah benar-benar peduli dengan kesehatan masyarakat dan dampak polusi, seharusnya fokus diarahkan pada pembangunan EBT seperti tenaga surya, bukan PLTU. "Saatnya Indonesia berbenah dan mengejar ketertinggalan dalam transisi energi terbarukan, sebelum kita terpaksa membayar mahal untuk kecerobohan ini," papar Andi.

Begitu pula dari aspek keamanan, impor model Singapura dari Australia juga berisiko terhadap keamanan infrastruktur energi bawah laut. Manajer Riset Seknas Fitra, Badiul Hadi, mengatakan yang perlu menjadi pertimbangan ialah impor energi itu menimbulkan kebergantungan pasokan energi dari luar, dan bisa berisiko secara geopolitik dan ekonomi ketika ada perubahan kebijakan atau konflik dan ini juga akan mengesampingkan kedaulatan energi.

Redaktur: Eko S

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.