Rantai Transisi Demografi
Foto: KORAN JAKARTA/ONESOleh Wiji Nogroho
Semangat program pemerintah dalam memerangi kemiskinan tidak diragukan, meski belum berhasil. Persentase penduduk miskin turun. Sebaliknya, jumlah absolut naik lebih kurang 6.900 penduduk (BPS, Maret 2017). Tumpang tindih kebijakan serta tidak tepat sasaran program diduga menjadi penyebab utama (Koran Jakarta, 20/11/2017). Di sisi lain, faktor demografi juga patut dipertimbangkan sebagai salah satu rantai sebab akibat yang terkait.
Tiap tahun, diprediksi 4,8 juta bayi lahir di Indonesia. Ironisnya, penyumbang tingkat kelahiran yang tinggi ada pada kelompok miskin dan rentan miskin. Tren ini telah terjadi hampir selama dua dekade terakhir. Penelitian lima tahunan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 1997 hingga 2012 menunjukkannya. Sementara itu, data terbaru (SDKI 2017) masih dalam tahap penyelesaian akhir.
Fakta lain tak kalah mencengangkan. Studi Jungho Kim, dkk (2009) menunjukkan bahwa kelahiran satu bayi di Indonesia mengakibatkan penurunan alokasi belanja anggota keluarga lainnya. Sumber daya ekonomi terserap hingga 20 persen untuk kebutuhan bayi. Hasil ini sejalan dengan penelitian Birdsall dan Sinding (2001) di beberapa negara berkembang. Tingkat kelahiran yang tinggi menyebabkan kemiskinan terusmenerus baik makro maupun keluarga.
Porsi belanja pendidikan untuk anak lainnya berkurang, bahkan dihilangkan. Sedangkan alokasi untuk asupan gizi juga terpangkas. Kementerian Kesehatan melaporkan pada tahun 2016 tercatat ada 27 persen balita Indonesia bertubuh pendek (stunting) karena kurang gizi.
Imbas berikutnya, beban tanggungan keluarga makin tinggi. Kedua kelompok tadi pun makin sulit keluar dari kemiskinan, bahkan jatuh semakin dalam di bawah garis kemiskinan. Buktinya, indeks keparahan dan kedalaman kemiskinan juga naik. Kondisi keluarga miskin turut merampas hak-hak dasar anak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik. Unicef dan BPS pada tahun 2017 mengeluarkan publikasi kemiskinan anak. Hasilnya, dari 10,7 persen penduduk miskin (hampir 28 juta penduduk), 40 persennya adalah anakanak (lebih dari 11 juta).
Di negara maju, tren penurunan tingkat kelahiran terus menyusul makin tingginya pendapatan. Contoh negara di wilayah Eropa dan Jepang, penurunan tingkat kelahiran berada di bawah replacement level, sehingga pertumbuhan penduduk negatif. Jumlah kelahiran tidak cukup menggantikan yang meninggal. Bahkan negara tetangga seperti Thailand menargetkan kelahiran 1,4 pada tahun 2020 (Adioetomo, 2017).
Pengalaman negara Asia pun membuktikan, penurunan tingkat kelahiran sekaligus membaiknya tingkat kematian memberikan efek positif terhadap pembangunan dan ekonomi. Bloom dan Williamson (1998) menyebutnya sebagai "keajaiban ekonomi Asia." Inilah yang juga disebut sebagai transisi demografi.
Sedangkan di Indonesia, tren penurunan tingkat kelahiran (TFR) bisa dikatakan mandek selama dua dekade terakhir. TFR seolah berhenti di angka 2,6 (SDKI). Padahal, TFR ditargetkan turun menjadi 2,1 pada tahun 2025 dan 1,9 saat Indonesia berumur 100 tahun (Proyeksi PBB, revisi 2017).
Pada tahun 2045 inilah saat jendela peluang (window of opportunity) bonus demografi mulai menutup. Kebijakan kependudukan harus mulai mengarah pada mempertahankan laju pertumbuhan agar tidak negatif seperti di Eropa dan Jepang. Namun, saat ini masih perlu dilakukan upaya keras menurunkan kelahiran.
Sulit
Jika melihat fakta sekarang, target tersebut memang sulit tercapai. Banyak sepakat bahwa terpangkasnya peran BKKBN di tingkat kabupaten/ kota sebagai penyebab utama. Kelembagaan di tingkat kabupaten/ kota tidak seragam nama dan nomenklaturnya. Dukungan APBD pun minim karena isu demografi dianggap kurang menguntungkan secara politis. Hasilnya tidak instan karena baru terlihat dalam jangka panjang.
Di sisi lain, isu perkawinan anak tak kunjung teratasi. Unicef menyebut, tiga dekade terakhir, penurunan prevalensinya kurang dari setengah dan tergolong lambat. Bahkan Indonesia menduduki peringkat ke-7 dunia. Untuk kawasan ASEAN, Indonesia berada di posisi ke-2 setelah Kamboja. Sedangkan berdasarkan Susenas 2015, kurang lebih satu dari lima perempuan pernah kawin, usia 20-24 menikah sebelum 18 tahun. Ini otomatis pendidikannya pun rendah. Mereka kebanyakan lulusan SD atau SMP.
Jika terus dibiarkan, beban negara semakin berat dengan beragam risiko seperti belum siap sistem reproduksinya, kematian ibu, hingga makin tingginya kelahiran. Khusus bagi anak perempuan, potensi dalam diri tidak bisa berkembang. Kesempatan sekolah hilang karena sibuk urusan rumah tangga. Kondisi ini pun bukan pilihan karena terpaksa. Secara ekonomi, Bank Dunia menyebutkan, kerugian akibat pernikahan dini mencapai triliunan dollas AS pada tahun 2030 jika tidak segera teratasi.
Permintaan KB yang tidak terpenuhi juga masih menjadi tantangan ke depan. Tercatat, total 11,4 persen wanita usia subur ingin menghentikan (6,9 persen) atau menjarangkan (4,5 persen) kelahiran, tanpa kontrasepsi. Ini menyebabkan risiko melahirkan anak yang tidak dikehendaki dan direncanakan. Jika terjadi pada kelompok miskin atau rentan miskin, makin mengkhawatirkan.
Berbagai upaya dan usulan telah dilakukan. Misalnya, Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) di Cirebon akhir April 2017 lalu, menyepakati dan merekomendasikan agar syarat usia perkawinan perempuan dinaikkan dari 16 menjadi 18 tahun.
Kementerian Agama mau menyusun modul pendidikan pranikah. Gerakan Bersama Stop Perkawinan Anak juga dikampanyekan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Namun, regulasi tetap menjadi kunci krusial setelah uji materii UU perkawinan ditolak Mahkamah Konstitusi.
Efek negatif tingginya kelahiran harus dikurangi. Antaranya dengan meningkatkan usia perempuan untuk menjadi 18 tahun. Revisi UU No 1/1974 tentang Perkawinan khususnya pasal 7 ayat (1) perlu segera dilakukan agar tidak bertentangan dengan UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. Salah satunya dengan terus mendorong penerbitan perppu. Hal ini bukan hanya benar secara moral, dan hak asasi manusia, tapi juga baik secara ekonomi ke depan.
Kebijakan pengendalian kependudukan perlu dipertajam baik dari sosialisasi maupun eksekusi pemenuhan hak-hak kesehatan reproduksi, khususnya remaja milenial. Target TFR 2,1 pada tahun 2025 perlu dikawal.
Pemerintah juga dapat merevisi PP No 11/2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil, khususnya pemberian cuti bersalin hingga anak ketiga, menjadi anak kedua. Penurunan kelahiran jangka panjang merupakan salah satu ikhtiar melepaskan diri dari middle income trap.Pepnulis Pegawai BPS Kabupaten Semarang
Redaktur:
Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Berita Terkini
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium
- Misi Terbaru Tom Cruise: Sabotase Pasukan Jerman!
- AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Penerbangan Natal dan Tahun Baru 2024/2025
- Sambut Natal 2024, Bank Mandiri Bagikan 2.000 Paket Alat Sekolah hingga Kebutuhan Pokok di Seluruh Indonesia