Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
praktik perbudakan

Raja Belanda: Permintaan Maaf Awali Proses Panjang

Foto : DW/imago images/Stefan Zeitz

Raja Wilhelm-Alexander dan Ratu Maxima

A   A   A   Pengaturan Font

Belanda mencatat "masa keemasan" pada abad ke16 dan 17, di tengah puncak kolonialisme. Saat itu, kerajaan di Den Haag menguasai dua wilayah kepulauan di Hindia Timur dan Barat atau Karibia.

Menurut PM Rutte, hingga tahun 1814 lebih dari 600.000 orang budak Afrika dikirim Belanda ke wilayah jajahannya di Amerika Selatan, terutama "Suriname, Curacao dan St. Eustatius," kata dia, Senin (19/12) lalu.

Tapi ketika sejarah perbudakan transatlantik oleh Belanda sudah banyak dikenal, perdagangan manusia di bekas koloninya di Asia cendrung minim penelitian.

Perbudakan di Asia tenggara, termasuk Nusantara, sudah membumi sejak sebelum era koloniaisme. Namun fenomena ini baru membludak sejak kedatangan pedagang Eropa sekitar tahun 1500. Kebanyakan budak dijualbelikan sebagai buruh kasar atau pelayan rumah tangga.

Belanda secara resmi melarang perbudakan pada 1860 di Asia dan 1863 di Amerika. Meski demikian, praktik perbudakan terus dilakukan secara tidak langsung, terutama di Indonesia. Menurut perkiraan pakar sejarah, praktik perbudakan oleh Belanda hingga awal abad ke 20 di Asia jumlah korbannya jauh lebih banyak ketimbang budak dari Afrika. DW/I-1
Halaman Selanjutnya....


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : Ilham Sudrajat

Komentar

Komentar
()

Top