Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2024 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Kamis, 10 Okt 2024, 06:00 WIB

Proyek Geotermal Jangan Abaikan Masyarakat Adat

KELOLA PLTP - Petugas membuka aliran sumur geothermal Unit 5 dan 6 di area PT Pertamina Geothermal Energy Lahendong, Tompaso, Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, beberapa tahun lalu. Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) berkapasitas 2x20 MW dengan lima sumur bor tersebut memperkuat sistem ketenagalistrikan dari Sulawesi-Gorontalo (Sulgo).

Foto: ANTARA/INDRAYADI TH

JAKARTA - Transisi energi dari energi fosil ke energi baru dan terbarukan (EBT) harus dilakukan tanpa mengorbankan hak-hak masyarakat. Pemilik lahan harus dilihat sebagai subjek, bukan objek pembangunan sehingga hak-hak mereka jangan diabaikan.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyoroti proyek geotermal atau panas bumi di Indonesia yang banyak memicu konflik di masyarakat dan kerusakan lingkungan. "Lokasi proyek panas bumi terlalu dekat dengan hunian masyarakat, dan berada di tanah adat maupun hutan," tegas Bhima, Rabu (9/10), menanggapi konflik investasi geotermal di Poco Leok, Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT).

Bhima menegaskan konflik di Poco Leok sangat disayangkan. Padahal, geotermal dimasukkan dalam agenda pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) sebagai opsi transisi energi yang berkeadilan.

"Kalau judulnya berkeadilan maka sebaiknya prosesnya partisipatif, tidak menciptakan kerusakan lingkungan yang sama dengan energi fosil," tandas Bhima.

Dia menjelaskan eskalasi konflik geotermal di Poco Leok adalah puncak gunung es. Proyek yang didanai bank pembangunan Jerman KfW di Poco Leok hanya mengulang kesalahan Bank Dunia di Wae Sano Flores. Saat itu, proyek geotermal di Wae Sano memicu protes dari masyarakat adat dan akhirnya Bank Dunia mundur dari pendanaan.

Bhima memaparkan dalam skema teknologi pembangkit listrik rendah emisi, penggunaan panas bumi saat ini sedang banyak disorot. Dalam rencana investasi JETP (Comprehensives Investment and Policy Plan - CIPP) Indonesia, geotermal menduduki posisi nomor satu teknologi pembangkit yang diproyeksikan akan menjadi jawaban dari transisi energi di negara ini.

Tidak kurang dari 22,5 miliar dollar AS dialokasikan demi pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) di Indonesia. Bahkan sejak 2017, Pulau Flores ditetapkan sebagai Pulau Panas Bumi oleh pemerintah RI.

Namun di balik itu, pengembangan panas bumi sebagai sumber listrik baru dibayar dengan harga mahal. Proses transisi energi yang seharusnya bersamaan dengan aspek keadilan dan keberlanjutan, pada kenyataannya harus dibayar dengan harga tinggi, yakni kesejahteraan dan keselamatan warga di sekitar proyek.

Pada Februari 2024, tidak kurang dari 101 warga Mandailing Natal dilaporkan keracunan gas yang berasal dari PLTP Sorik Marapi. Tiga tahun sebelumnya, di lokasi dan PLTP yang sama lima orang bahkan menjadi korban jiwa.

Celios bersama dengan Walhi Nasional, meluncurkan kajian atas dampak PLTP pada 5 Maret lalu. Hasil modeling ekonomi yang dilakukan Celios dengan metode IRIO (Inter Regional Input-Output) memproyeksikan keberadaan PLTP di tiga lokasi di Nusa Tenggara Timur (NTT), yakni Wae Sano, Sakoria, dan Ulumbu berisiko menurunkan pendapatan petani sebesar 470 miliar rupiah pada tahap pembangunan.

Sementara kerugian terhadap output ekonomi mencapai 1,09 triliun rupiah pada tahun kedua proses ekstraksi geotermal. Sementara itu, jumlah tenaga kerja diperkirakan menurun 20.671 orang pada tahun pertama dan 60.700 orang pada tahun kedua.

Kepala Lembaga Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Chaikal Nuryakin, dalam diskusi terkait "Kesetimbangan Fungsi Ekonomi dan Sosial" yang diselenggarakan FEB UI di Jakarta, Selasa (8/10), menegaskan semua proyek BUMN harus memberi manfaat ekonomi kepada masyarakat sekitar.

Gelar Aksi

Adapun Koalisi Masyarakat Poco Leok menggelar aksi di Markas Besar Kepolisian RI, Jakarta, pada 7 Oktober 2024. Aksi ini merupakan protes atas kekerasan yang dilakukan oleh kepolisian dan PT PLN (Persero) kepada masyarakat Poco Leok karena menolak rencana proyek perluasan geotermal atau Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Ulumbu pada 1 dan 2 Oktober 2024.

Manajer PT PLN UPP Nusra 2, Osta Melanno, menegaskan pengembangan geotermal ini tetap dengan menghormati adat istiadat setempat.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.