Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

"Post-Truth" dan Tugas Santri

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Memang, masyarakat seperti mengalami gegar budaya dan keadaban menghadapi era ini. Efeknya, terjadilah gejala kelimbungan sosial yang cenderung masif. Hal ini tak terlepas dari penyikapan kita yang cenderung lembek (leniency), permisif, dan serbamenganggap remeh (easy going) segala sesuatu. Hingga tak cukup punya kepekaan dan keberanian moral mengatasi penyimpangan-penyimpangan etika yang telanjur dipentaskan.

Oxford Dictionary (2016) mendefinisikan post-truth sebagai situasi dengan keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik ketimbang fakta objektif. Buncahan emosi dimanipulasi sedemikian rupa tanpa didukung kebenaran faktual. Bahkan, distorsi informasi pun dapat dijadikan bahan bakar generik demi meyakinkan publik bahwa keyakinannyalah yang pantas dimutlakkan.
Belum jelas benar apakah naluri dusta secara diam-diam merefleksikan bahwa makin banyak nilai-nilai luhur kehidupan kita yang telah dipelesetkan. Mulai dari melencengnya nilai adiluhung politik sampai doktrin-doktrin hukum yang hanya sebatas diktat kuliah tanpa diimplementasikan secara bernas.

Ironisnya, memasuki era revolusi industri 4.0 kita justru mengalami defisit kekayaan jiwa. Kedaulatan etika seakan menjadi tidak penting. Terpenting sensasional dan menggoreng emosi publik. Padahal koridor etika bukan sekadar mantra ampuh yang miskin pengejawantahan. Sebab bagaimanapun konstruksi nalar harus dipandu melalui lajur etika. Akibatnya kita seperti kehilangan rasa dan nilai kemanusiaan.

Letak permasalahannya antara lain masyarakat belum berhasil merumuskan konsep etika post-truth yang sejalan dengan nilai-nilai kewaskitaan para pendiri bangsa (founding fathers) sekaligus selaras dengan frekuensi arus utama generasi milenial. Padahal, menurut Yasadipura, sejatinya citra manusia adalah titining luwih (diri rahasia Tuhan). Pancaran roh ilahi terpendar dalam relung jiwa membentuk struktur nurani. Maka, pada dasarnya manusia cenderung pada nilai-nilai kebajikan.

Namun, kita tak boleh terjebak pada awan gelap pesimisme. Perlu upaya normalization of fetish (meminjam istilah Mary Aiken), menormalkan yang sudah tak normal. Tak lain, harapan publik justru tertumpu dan tertambat pada dunia pesantren. Karena dalam traktat spiritualitasnya, santri dididik sejak dini pantang berkata dusta, apalagi menebar fitnah. Menjadi credo dalam titian hidupnya bahwa berdusta merupakan wujud kebodohan yang sempurna. Sebab, berbohong setidaknya menipu diri sendiri. Artinya, menganggap dungu diri dan orang lain.
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top