Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

"Post-Truth" dan Tugas Santri

Foto : istimewa
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Mohammad Farid Fad

Akhir-akhir, ini jantung dibuat sesak oleh akrobat hoaks yang secara vulgar dipertontonkan di tengah deraan keprihatinan ribuan korban gempa bumi dan tsunami Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah, pada Jumat (28/9) lalu. Alasannya terhitung sepele. Skenario dusta sengaja diciptakan secara culas dan meyakinkan guna menutupi aib dan kekurangan diri.

Kondisi ini diperparah dengan meluasnya wabah kebencian dan ketidakpatutan di lini massa yang berisiko membabat habis nalar sehat publik. Data dan fakta dipelintir guna melamurkan objektivitas dan rasionalisasi atas mana yang benar dan mana pula yang salah. Apalagi bila dibumbui info-info pendek yang membetot perhatian publik sengaja diarusutamakan hingga mengacaukan ingatan sosial. Kita bahkan seperti terhanyut dalam polusi informasi yang saling menghinakan. Padahal tanpa disadari, deraan hoaks mengikis bahkan menghancurkan modal sosial paling asasi, yakni kepercayaan (mutual trust).

Sebenarnya, berbagai kegaduhan dan centang-perentang yang muncul di ruang publik tak lain hanyalah letupan permukaan dari likuifaksi moral. Dampaknya, seperti bisa diduga, pertimbangan etika menjadi terpinggirkan. Rongga-rongga etika menjadi makin longgar dan nyaris tak kentara. Bahkan ditengarai terjadi kerusakan tatakrama paling mendasar dalam era post-truth.

Memang, masyarakat seperti mengalami gegar budaya dan keadaban menghadapi era ini. Efeknya, terjadilah gejala kelimbungan sosial yang cenderung masif. Hal ini tak terlepas dari penyikapan kita yang cenderung lembek (leniency), permisif, dan serbamenganggap remeh (easy going) segala sesuatu. Hingga tak cukup punya kepekaan dan keberanian moral mengatasi penyimpangan-penyimpangan etika yang telanjur dipentaskan.

Oxford Dictionary (2016) mendefinisikan post-truth sebagai situasi dengan keyakinan dan perasaan pribadi lebih berpengaruh dalam pembentukan opini publik ketimbang fakta objektif. Buncahan emosi dimanipulasi sedemikian rupa tanpa didukung kebenaran faktual. Bahkan, distorsi informasi pun dapat dijadikan bahan bakar generik demi meyakinkan publik bahwa keyakinannyalah yang pantas dimutlakkan.
Belum jelas benar apakah naluri dusta secara diam-diam merefleksikan bahwa makin banyak nilai-nilai luhur kehidupan kita yang telah dipelesetkan. Mulai dari melencengnya nilai adiluhung politik sampai doktrin-doktrin hukum yang hanya sebatas diktat kuliah tanpa diimplementasikan secara bernas.

Ironisnya, memasuki era revolusi industri 4.0 kita justru mengalami defisit kekayaan jiwa. Kedaulatan etika seakan menjadi tidak penting. Terpenting sensasional dan menggoreng emosi publik. Padahal koridor etika bukan sekadar mantra ampuh yang miskin pengejawantahan. Sebab bagaimanapun konstruksi nalar harus dipandu melalui lajur etika. Akibatnya kita seperti kehilangan rasa dan nilai kemanusiaan.

Letak permasalahannya antara lain masyarakat belum berhasil merumuskan konsep etika post-truth yang sejalan dengan nilai-nilai kewaskitaan para pendiri bangsa (founding fathers) sekaligus selaras dengan frekuensi arus utama generasi milenial. Padahal, menurut Yasadipura, sejatinya citra manusia adalah titining luwih (diri rahasia Tuhan). Pancaran roh ilahi terpendar dalam relung jiwa membentuk struktur nurani. Maka, pada dasarnya manusia cenderung pada nilai-nilai kebajikan.

Namun, kita tak boleh terjebak pada awan gelap pesimisme. Perlu upaya normalization of fetish (meminjam istilah Mary Aiken), menormalkan yang sudah tak normal. Tak lain, harapan publik justru tertumpu dan tertambat pada dunia pesantren. Karena dalam traktat spiritualitasnya, santri dididik sejak dini pantang berkata dusta, apalagi menebar fitnah. Menjadi credo dalam titian hidupnya bahwa berdusta merupakan wujud kebodohan yang sempurna. Sebab, berbohong setidaknya menipu diri sendiri. Artinya, menganggap dungu diri dan orang lain.

Pengingatan

Selain itu, sebagai kader ulama, santri tak hanya dikenal sebagai pewaris pelita umat namun juga pembawa estafet obor kebenaran. Disebabkan dalam ekosistem pesantren, santri tak hanya dibekali ilmu-ilmu agama, melainkan kecakapan hidup (life skill) dan adab. Ini sebagai sokoguru pendidikan sehingga proses kemanusiaannya menjadi lebih paripurna. Tak ayal, bila orang tua menitipkan anak ke pondok pesantren, ibarat menginvestasikan SDM jangka panjang yang menjanjikan berakhlak luhur dan bersidikjari keindonesiaan.

Untuk itu, momen Hari Santri Senin (22/10) ini tak boleh terperangkap dalam gebyar sesaat dengan menyisakan ruang perenungan yang hening, bahkan senyap. Peringatan ini tak sekadar festival komemoratif yang defisit makna. Momen ini menjadi dering pengingat untuk membangun kembali hamparan puing-puing keadaban publik. Perayaan Hari Santri dapat dijadikan sumber refleksi yang memendarkan asa transformasi umat di tengah menipisnya oksigen kejujuran.

Tak lain dikarenakan santri dikenal memiliki kecerdasan organik yang lentur dalam menyikapi berbagai belitan persoalan bangsa. Di sinilah, tugas sejarah memanggil kaum sarungan untuk terlibat dan melibatkan diri tampil di atas panggung publik, bukan sebaliknya, memilih menyingkir dalam perasingan sosial.

Saatnya santri melakukan counter culture dan kontra narasi terhadap dengusan kebencian dan kebohongan. Tak cukup hanya berbekal literasi, juga dibutuhkan ketahanan moral (moral resilience) yang kenyal demi menyembuhkan bilur-bilur penuh kepalsuan. Hal ini teramat penting sebab spirit resolusi jihad yang dikobarkan KH Hasyim Asy'ari mengajarkan, manusia tak boleh tinggal diam melawan narasi kelancungan dan dusta untuk kemudian tampil membangun bangsa dan negara.


Penulis Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Walisongo Semarang

Komentar

Komentar
()

Top