Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Transisi Energi | Pada 2007, Perubahan Iklim Belum Jadi Perhatian Para Menkeu dari Berbagai Negara

“Political Will" Atasi Perubahan Iklim Masih Lemah

Foto : ANTARA/RIVAN AWAL LINGGA

REALISASI PLTS | Petugas memeriksa panel surya di Masjid Istiqlal, Jakarta, Senin (26/8). Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan kuota PLTS atap untuk tahun ini hampir habis, dari kuota total 901 MW hanya tersisa sekitar 60-90 MW.

A   A   A   Pengaturan Font

JAKARTA - Pemerintah terus mengeklaim keberhasilan RI menginisiasi gerakan mengatasi perubahan iklim. Padahal, faktanya proses transisi energi di dalam negeri stagnan.

Bahkan, pemerintah terlihat masih setengah hati dalam mendorong transisi energi. Sebab, pemerintah masih mendukung pembangunan pembangkit listrik dari energi kotor batu bara.

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudisthira, membantah pernyataan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, yang menyebutkan Indonesia menjadi negara pertama atau inisiator yang membahas masalah perubahan iklim (climate change) dari sisi ekonomi dan finansial.

Sebenarnya, kata Bhima, isu perubahan iklim sudah dibahas sejak adanya Protokol Kyoto pada 1992 dan Conference of the Parties (COP) Pertama pada 1995 di Berlin, Jerman.

Bahkan menurut dia, sebelum itu sudah banyak kegiatan terkait kerja sama penanganan perubahan iklim. Jika ditarik sejak adanya Perjanjian Paris Agreement pada 2016, tingkat emisi karbon dan produksi batu bara Indonesia terus meningkat.

"Sampai sekarang, Indonesia belum juga menjalankan pajak karbon," ujarnya kepada Koran Jakarta, Selasa (27/8).

Hingga saat ini, papar dia, pembangunan masif pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di kawasan industri atas nama pertumbuhan ekonomi masih didukung oleh rangkaian kebijakan.

"Ini bukti pemerintah sering kali mengumbar klaim keberhasilan, padahal banyak komitmen iklim tidak dijalankan. Political will di Indonesia soal iklim masih sangat rendah," tegas Bhima.

Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Edy Soeparno, mengungkapkan pemerintah bersama DPR RI sangat serius mendorong transisi energi, bahkan sebagai bentuk keseriusannya pengembangan hilirisasi dari sumber daya alam (SDA) Indonesia akan terus mengedepankan sektor energi hijau. Pengembangan produksi SDA di Indonesia saat ini masuk tahap hilirisasi.

"Tentu dengan berbasis energi terbarukan, energi hijau dengan memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan hidup," ujarnya.

Bahkan, lanjut Edy, dalam rangka mengusung energi hijau tersebut, saat ini DPR RI bersama pemerintah tengah menyusun dan menyelesaikan undang-undang energi baru dan terbarukan. Hal itu sebagai komitmen Indonesia menggunakan energi lebih bersih dan berkesinambungan.

Tambahan Beban

Sebelumnya, Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengatakan pada 2007 tidak ada satu pun menteri keuangan dari berbagai negara yang bicara perubahan iklim. Apalagi pada 2008, 2009 ketika dunia dihadapkan pada krisis finansial global.

"Jadi, seolah-olah climate change itu tambahan beban. Sehingga buat kita Indonesia untuk menjadi the first initiator untuk mulai mengundang para menteri-menteri keuangan dan menteri pembangunan bicara climate change," kata Sri Mulyani.

Dia menjelaskan, hal itu bermula pada 2007 saat Indonesia menjadi tuan rumah dari Conference of the Parties (COP) ke-13 di Bali. Sri Mulyani yang saat itu sudah menjadi menteri keuangan, kemudian diminta oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) United Nations Special Envoy agar menteri keuangan mulai hosting para menkeu dan menteri pembangunan untuk bicara climate change di dalam CPO meeting.

Padahal, CPO meeting yang biasanya selalu dihadiri dan menjadi agenda utama dari menteri-menteri lingkungan hidup.

Dia menuturkan waktu itu yang banyak berbicara masalah perubahan iklim hanya dari menteri lingkungan hidup, namun setiap komitmen untuk reduksi CO2, implikasi dari sisi ekonomi finansialnya sangat besar.

"Kalau para pembuat kebijakan di bidang ekonomi dan finansial tidak memahami, ya mereka hanya sebagai penonton. Di situlah muncul suatu tanggung jawab sebagai seorang menteri keuangan 'memenstreamkan' climate change di dalam pembahasan menteri-menteri keuangan," jelas Sri Mulyani.

Kemudian semenjak 2008, Presiden Bank Dunia saat itu, Robert B. Zoellick, mulai membangun tradisi apa yang disebut Bali 'breakfast' di setiap pertemuan tahunan Bank Dunia. Di situlah, perubahan iklim mulai menjadi agenda utama dalam menteri keuangan.


Redaktur : Muchamad Ismail
Penulis : Fredrikus Wolgabrink Sabini

Komentar

Komentar
()

Top