
Perkuat Pengawasan Danantara Agar Skandal Megakorupsi BLBI Tidak Terulang
Pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho - Dalam kasus BLBI, kita melihat bagaimana dana negara dapat disalahgunakan akibat lemahnya pengawasan dan intervensi politik yang kuat.
Foto: antaraJAKARTA - Pemerintah pekan depan akan meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara atau Danantara yang akan mengelola setidaknya tujuh aset BUMN besar senilai 14.715 triliun rupiah. BPI tersebut diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan daya saing ekonomi nasional mirip seperti Temasek Holdings di Singapura.
Menanggapi kemunculan Danantara itu, pengamat Hukum dan Pembangunan Hardjuno Wiwoho mengingatkan untuk memperkuat pengawasan BPI Danantara karena potensi risiko investasi yang bisa saja menyebabkan negara harus kembali terpuruk seperti skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan Obligasi Rekapitalisasi perbankan saat krisis ekonomi 1998, dua dekade lalu.
Meskipun pembentukan Danantara membawa harapan baru bagi pengelolaan aset negara, namun pengalaman traumatis BLBI menunjukkan bahwa pengawasan ketat harus menjadi prioritas utama.
“Dalam kasus BLBI, kita melihat bagaimana dana negara dapat disalahgunakan akibat lemahnya pengawasan dan intervensi politik yang kuat. Jika Danantara tidak dikelola dengan transparansi dan akuntabilitas tinggi, ada risiko skenario serupa terjadi,” kata Hardjuno.
Dalam skema BLBI, Bank Indonesia menyuntikkan likuiditas atau dana segar sebesar 144,5 triliun rupiah untuk menyelamatkan bank-bank yang terdampak krisis. Sedangkan, Pemerintah yang saat itu tidak memiliki uang tunai menerbitkan obligasi rekap yang ditempatkan di beberapa bank di mana Pemerintah wajib membayar 10 persen per tahun ke bank dari nilai obligasi rekap yang mereka pegang.
Sampai saat ini, kewajiban Pemerintah ke pemegang bond rekap itu terus berlaku sehingga setiap tahun membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sayangnya, para penerima BLBI masih banyak yang mengemplang atau tidak membayar kembali ke negara. Sementara di sisi lain, masih ada juga obligor yang masih terus menerima pembayaran dari APBN, padahal bank dan usaha mereka sudah untung berpuluh-puluh triliun rupiah.
Sikap bandel dari debitor BLBI dan obligor itu karena mereka merupakan konglomerat yang memiliki hubungan dengan elite politik.
“Skenario serupa dapat terjadi pada Danantara jika tidak ada mekanisme yang jelas dalam pengelolaan dan pelaporan keuangan BPI tersebut. Temasek Holdings di Singapura dan Khazanah di Malaysia memang bisa maju karena pengelolaan asetnya dilakukan secara transparan dan independen oleh profesional yang berintegritas, sehingga dapat mendorong ekonomi nasional mereka,” kata Hardjuno.
Kendati demikian, pengalaman Malaysia dengan 1MDB menjadi contoh bagaimana kesalahan dalam tata kelola dapat berujung pada skandal keuangan berskala besar. “Kasus 1MDB menjadi pelajaran bahwa jika ada intervensi politik dan kurangnya pengawasan, holding investasi negara justru bisa menjadi beban ekonomi yang berlarut-larut,” tambahnya.
Untuk memastikan Danantara tidak mengalami nasib seperti BLBI atau 1MDB, Hardjuno merekomendasikan beberapa langkah penting, seperti audit independen oleh lembaga internasional, laporan keuangan yang terbuka untuk publik, serta pemilihan manajemen yang bebas dari kepentingan politik.
“Jika semua langkah ini diterapkan dengan disiplin, Danantara bisa menjadi kekuatan ekonomi yang nyata bagi Indonesia. Namun, jika tidak, kita bisa melihat pengulangan kesalahan yang pernah terjadi,” pungkasnya.
Prioritas Utama
Sementara itu, pengamat ekonomi dari STIE YKP Yogyakarta, Aditya Hera Nurmoko, mengatakan tata kelola yang baik, transparansi dan akuntabel harus menjadi prioritas utama dalam pembentukan Danantara. Ia sepakat bahwa risiko penyalahgunaan aset negara, seperti yang terjadi di kasus-kasus sebelumnya, harus diantisipasi dengan sistem pengawasan yang ketat.
“Pembentukan Danantara adalah langkah besar bagi Indonesia, tetapi tanpa pengawasan yang kuat, potensi risiko seperti kasus BLBI dan Obligasi Rekap bisa menjadi kenyataan,” kata Aditya.
Menurutnya, mekanisme audit independen dan keterbukaan informasi ke publik harus menjadi fondasi utama Danantara. Transparansi dalam pengelolaan aset negara akan membangun kepercayaan, baik dari masyarakat maupun investor.
“Kita harus memastikan bahwa pengelolaan Danantara tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi benar-benar membawa manfaat bagi perekonomian nasional,” pungkas Aditya.
Berita Trending
- 1 Cegah Tawuran dan Perang Sarung, Satpol PP Surabaya Gencarkan Patroli di Bulan Ramadan
- 2 AWS Dorong Inovasi Melalui Pendidikan Berbasis STEAM
- 3 Persija Jakarta Kini Fokus Laga Lawan PSM Makassar
- 4 Harimau Memangsa Hewan Ternak Warga Mukomuko Bengkulu
- 5 Penemuan Fosil Purba di Tiongkok Mengubah Sejarah Evolusi Burung
Berita Terkini
-
Energi Terbarukan, Pilar Utama Pertumbuhan Ekonomi Modern
-
Jangan Setengah Hati, Stop Kebergantungan Pada Impor Pangan, Jika Indonesia Tak Ingin Seperti Filipina
-
Masyarakat Perlu Waspadai Kejahatan Finansial, Sebanyak 19.980 Rekening Kena Blokir Akibat Scam
-
Birokrasi Berbelit dan Lambat Perlu Diperbaiki dengan Inovasi
-
Solusi Digitalisasi UMKM dalam Satu Genggaman, hibank Luncurkan Aplikasi hi by hibank