Logo

Follow Koran Jakarta di Sosmed

  • Facebook
  • Twitter X
  • TikTok
  • Instagram
  • YouTube
  • Threads

© Copyright 2025 Koran Jakarta.
All rights reserved.

Senin, 03 Okt 2022, 18:19 WIB

Penyusunan Neraca Komoditas Perlu Dikebut

Ekonom Universitas Airlangga, Rossanto Dwi Handoyo dalam diskusi virtual bertema “Ancaman Resesi, Peningkatan Eskpor Non Migas dan Dampak Penerapan kebijakan Ekspor CPO,” yang diselenggarakan Forum Jurnalis Sawit (FJS) di Jakarta, Senin (3/10).

Foto: Istimewa

JAKARTA - Ekonom Universitas Airlangga, Rossanto Dwi Handoyo menyarankan, pemerintah perlu mewujudkan penyusunan platform Neraca Komoditas (NK). Pasalnya, mesin penggerak pertumbuhan ekonomi Indonesia masih didominasi produk komoditas unggulan termasuk komoditas perkebunan, Crude Palm Oil (CPO).

NK bisa menjadi acuan data dan informasi yang mampu menjabarkan tentang situasi konsumsi dan produksi suatu komoditas berskala nasional seperti CPO sekaligus sebagai data dan informasi proyeksi pengembangan industri nasional.

Hal itu disampaikan Rossanto dan Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad dalam diskusi virtual bertema "Ancaman Resesi, Peningkatan Eskpor Non Migas dan Dampak Penerapan kebijakan Ekspor CPO," yang diselenggarakan Forum Jurnalis Sawit (FJS) di Jakarta, Senin (3/10).

Menurut Rossanto, melalui NK tersebut nantinya dengan mudah diketahui seberapa besar kebutuhan CPO dalam negeri untuk minyak goreng hingga target ekspor sehingga berbagai regulasi pro dan kontra seperti DMO dan DPO bisa dihindari.

"Kebijakan sebagai upaya transparansi ini bermanfaat karena memberikan kepastian waktu bagi waktu bagi eksportir sawit, mendorong penyederhanaan tata niaga kelapa sawit di Indonesia yang kini masih terkesan tumpang tindih," kata Rossanto.

Menurut Rossanto, penyusunan NK perlu dikebut mengingat perekonomian Indonesia masih menghadapi dampak tekanan ekonomi global tahun depan 2023.

Pada tahun 2023, ekonomi domestik dihadapkan dengan sejumlah ketidakpastian seperti potensi resesi dunia setelah tingginya inflasi dan tren kenaikan suku bunga acuan bank sentral negara-negara maju.

Beberapa faktor mempengaruhinya ketidakpastian itu adalah, akibat pertumbuhan ekonomi China mengalami penurunan serta pertumbuhan ekonomi dunia yang diduga juga stagnan. "Dampak Pandemi Covid-19 juga masih akan dirasakan Indonesia meski status Indonesia yang telah turun menjadi lower middle income country," kata dia.

Namun demikian, Rossanto memperkirakan, perekonomian sejumlah negara di Asia Pasifik bakal tumbuh positif dengan inflasi yang masih terkendali. CPO dan komoditas tambang masih menjadi komoditas yang mampu menggerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Ketika harga komoditas terdampak, surplus perdagangan hingga lapangan kerja yang meningkat karena serapan disektor pertambangan dan perkebunan, bisa kembali menurun.

Rossanto juga menyarankan, agar Indonesia bisa kembali ke posisinya semula perlu melakukan diversifikasi pasar ke Uni Eropa. Saat ini, China, Pakistan dan India merupakan psar terbesar CPO Indonesia. Namun akibat banyaknya kebijakan yang tumpang tindih membuat harga CPO dan target pengiriman sulit diterapkan.

Karena itu, Pemerintah Indonesia perlu berjuang habis-habisan di organisasi perdagangan dunia (WTO) agar CPO bisa masuk ke Eropa.

Pasar Eropa, meski tidak besar, namun menjadi indikator perdagangan dunia.

Upaya lain yang perlu dilakukan adalah mendorong peningkatan daya saing komoditas CPO melalui sertifikasi internasional. Per 31 Desember 2020, 735 perusahaan perkebunan sawit di Indonesia telah memiliki sertifikasi yang Bernama Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO).

Sementara itu, Tauhid Ahmad menyoroti pemerintah perlu memberlakukan regulasi pro komoditas di tengah ketidakpastian global yang tinggi, terutama dengan melonjaknya harga komoditas pangan dan energi menjadi tantangan bagi perekonomian nasional.

"Sebenarnya, Indonesia bisa selamat dari resesi karena diuntungkan dari kenaikan harga komoditas global sehingga menambah pendapatan negara," kata Tauhid Ahmad.

Tauhid Ahmad masih menyakini bahwa CPO atau minyak sawit masih menjadi komoditas yang menyumbangkan pundi-pundi besar terhadap devisa negara.

Mengutip ata Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor minyak sawit mentah (CPO) berkontribusi sebesar 112,82 triliun rupiah bagi perekonomian Indonesia sepanjang kuartal I/2022. Angka ini setara 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Ironisnya, saat ini masih ada beberapa kebijakan yang justru membatasi kegiatan ekspor minyak sawit. "Sebut saja Bea Keluar, Pungutan Ekspor, Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), Persetujuan Ekspor, dan Flush Out," ungkap Tauhid Ahmad.

Pengawasan Ketat

Karena itu, seluruh hambatan ekspor tersebut sebaiknya dikurangi atau bahkan dihapus. Sementara itu, di dalam negeri hal yang bisa dilakukan dengan melakukan pengawasan ketat terhadap pelaksanaan penetapan harga TBS sawit.

Agar penetapan harga TBS sepihak tidak terjadi, diperlukan pengawasan ketat oleh gubernur di wilayahnya, sebagai pihak yang menetapkan TBS, untuk mencegah konflik antara petani dan pabrik sawit.

Perlunya pelindungan petani yang tidak bermitra dengan perusahaan dalam memperoleh harga TBS sawit. Apalagi, jumlah petani bermitra dengan perusahaan sebanyak 7 persen sedangkan 93 persen lainnya merupakan petani sawit swadaya.

Redaktur: Muchamad Ismail

Penulis: Erik, Fredrikus Wolgabrink Sabini

Tag Terkait:

Bagikan:

Portrait mode Better experience in portrait mode.