Penelitian Terbaru Ungkap Ancaman Tersembunyi di Balik Ekspor Pasir Laut
Ilustrasi - Penambangan pasir pantai.
JAKARTA - Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sendimen di Laut cenderung memprioritaskan keuntungan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya laut, terutama dalam konteks hasil sedimentasi laut. Justru ini menimbulkan konflik dengan Pasal 56 UU Nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan, yang secara eksplisit menekankan pentingnya perlindungan lingkungan laut sebagai prioritas utama.
Pengamat maritim dari Ikatan Keluarga Besar Alumni Lemhannas Strategic Center (ISC), Dr. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menegaskan bahwa UU seharusnya menjadi panduan utama dalam pengelolaan sumber daya laut, justru terpinggirkan oleh peraturan pemerintah (PP) yang lebih fokus pada aspek ekonomi.
"Kondisi ini menimbulkan pertanyaan mengenai prioritas pemerintah dalam melindungi lingkungan laut, terutama dalam menghadapi tekanan pembangunan ekonomi yang terus meningkat," tegas Capt. Hakeng selaku salah satu Pembina dari Perhimpunan Mahasiswa Peduli Hukum (PMPH). Contoh nyata dari konflik regulasi ini, dapat dilihat pada kasus penambangan pasir laut ilegal di Batam dan Tanjung Balai Karimun.
"Kasus-kasus ini menunjukkan lemahnya penegakan hukum, yang ditandai dengan ketidakadilan dalam pemberian sanksi terhadap pelaku ilegal. Sering kali, pelaku dengan kekuatan ekonomi besar mampu lolos dari jeratan hukum atau menerima sanksi yang ringan, sementara kerusakan lingkungan yang diakibatkan sangat signifikan," ujar Capt. Hakeng.
Fenomena ini, lanjut dia, menunjukkan adanya ketimpangan dalam penegakan hukum yang lebih mengutamakan aspek ekonomi daripada perlindungan lingkungan. "Maka dampak lingkungan dari penambangan pasir laut tanpa izin sangat merusak kondisi ekosistem laut. Aktivitas ini mengubah pola sedimentasi laut dan merusak habitat pesisir yang penting bagi keberlanjutan ekosistem laut," tandasnya.
Halaman Selanjutnya....
Redaktur : Lili Lestari
Komentar
()Muat lainnya