Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Referendum Warga Pribumi I 59 Persen Warga Australia Tolak Proposal Akui Masyarakat Adat

Pemilih Australia Tolak Hak-hak Masyarakat Adat

Foto : AFP/Saeed KHAN

Referendum Hak I Seorang warga hendak memberikan hak suaranya di TPS Balmain Public School, Sydney, saat Australia ­menggelar referendum pada Sabtu (14/10). Referendum ini digelar untuk menentukan pemberian hak yang lebih besar bagi warga ­negara pribumi di Australia.

A   A   A   Pengaturan Font

SYDNEY - Warga Australia dengan tegas menolak hak yang lebih besar bagi warga negara pribumi dan hal itu berarti mengakhiri rencana untuk mengamandemen konstitusi negara yang telah berusia 122 tahun setelah kampanye referendum yang memecah belah dan bernuansa rasial.

Berdasarkan laporan dari 88 persen tempat pemungutan suara, sekitar 59 persen masyarakat telah memberikan suara menentang proposal untuk mengakui penduduk Aborigin dan penduduk pribumi Selat Torres dalam konstitusi tahun 1901 untuk pertama kalinya.

Reformasi ini juga akan menciptakan badan konsultatif untuk mempertimbangkan undang-undang yang berdampak pada masyarakat adat dan membantu mengatasi kesenjangan sosial dan ekonomi yang mendalam. Kampanye yang sering kali penuh kebencian ini mengungkap garis-garis perpecahan rasial yang mendalam yang masih terjadi di negeri Kanguru itu.

Perdana Menteri Anthony Albanese, yang berkampanye untuk memilih "ya", mendesak negara yang terpecah untuk bersatu dalam semangat persatuan dan pemulihan. Dia menambahkan bahwa kekalahan tersebut akan menjadi beban berat yang harus dipikul dan sangat sulit untuk ditanggung bagi sebagian besar warga Aborigin Australia yang mendukung referendum.

"Mulai besok kami akan terus menulis bab berikutnya dalam kisah besar Australia ini. Dan kami akan menulisnya bersama-sama. Dan rekonsiliasi harus menjadi bagian dari bab tersebut," kata PM Albanese.

Sementara itu Menteri Masyarakat Adat Australia, Linda Burney, perempuan Aborigin pertama yang terpilih duduk di Dewan Perwakilan Rakyat, berkata bahwa hasil referendum hari ini adalah hari yang menyedihkan.

Penduduk asli Australia mengungkapkan kemarahan dan kesedihan mereka karena mayoritas warga kulit putih menolak seruan untuk memperhitungkan masa lalu kolonial berdarah di negara tersebut.

"Ini adalah hasil yang sulit, ini hasil yang sangat sulit," kata direktur kampanye Yes23, Dean Parkin. "Kami telah melakukan semua yang kami bisa dan kami akan bangkit dari ini," imbuh dia.

Menuju Rekonsiliasi

Lebih dari 230 tahun sejak kapal Inggris pertama berlabuh di Sydney, Albanese telah memperjuangkan reformasi sebagai langkah menuju rekonsiliasi rasial. Namun sebaliknya, hal ini justru memicu perdebatan yang sangat penuh dendam dan bernuansa rasial yang mengungkap jurang pemisah antara masyarakat Bangsa Pertama (First Nations) dan mayoritas kulit putih.

Referendum itu menanyakan kepada pemilih apakah setuju mengubah konstitusi negara untuk mengakui hak suku Aborigin dan warga pribumi Kepulauan Selat Torres melalui pembentukan badan penasihat Masyarakat Adat yang diberi nama "Suara untuk Parlemen", dimana badan penasihat itu bisa memberi masukan kepada parlemen Australia mengenai berbagai isu terkait Masyarakat Adat.

Kampanye oposisi dengan sigap menyalurkan kekhawatiran mengenai peran dan efektivitas badan "Suara untuk Parlemen" dengan mendorong masyarakat untuk memilih "tidak" jika mereka tidak yakin.

Perdebatan tersebut disertai dengan banyaknya informasi yang salah di dunia maya yang menyatakan bahwa badan penasihat itu akan mengarah pada perampasan tanah dan hal itu akan menciptakan sistem apartheid seperti di Afrika Selatan pada beberapa waktu lalu.

Pemimpin masyarakat adat Thomas Mayo mengungkapkan kemarahannya atas tindakan kampanye "tidak" tersebut, dan mengatakan bahwa mereka harus bertanggung jawab atas retorika mereka yang memecah belah dan tidak jujur.

"Mereka telah berbohong kepada rakyat Australia. Ketidakjujuran ini tidak boleh dilupakan oleh rakyat Australia dalam demokrasi kita," ujar Mayo.

Sementara itu jajak pendapat secara konsisten justru menunjukkan bahwa para pemilih, yang sebagian besar berkulit putih, menempatkan isu-isu Masyarakat Adat jauh di bawah daftar prioritas politik mereka.AFP/I-1


Redaktur : Ilham Sudrajat
Penulis : AFP

Komentar

Komentar
()

Top