Pemerintah Berkomitmen Lindungi Masyarakat Hukum Adat dan Kearifan Lokalnya Semakin Nyata
Menteri LHK, Siti Nurbaya.
Foto: IstimewaJAKARTA - Komitmen Pemerintah dalam melindungi masyarakat hukum adat (MHA) dan kearifan lokalnya semakin nyata dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.21/Menlhk/Setjen/ Kum.1/4/2019 tanggal 29 April 2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak yang menjadi aturan teknis turunan dari peraturan perundangan di atasnya yang telah ada sebelumnya.
"Di dalam aturan tersebut, komitmen pemerintah diperjelas salah satunya dengan menetapkan Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat yang ditandatangani Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan seluas sekitar 1.090.755 Ha," ujar Menteri Lingkunagn Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya, dalam pernyataan tertulis, Senin (16/8).
Menurut siaran persnya, Mentri Siti Nurbaya mengatakan, sebagai negara yang majemuk dengan beragam suku bangsa dan budaya, pengakuan terhadap MHA dan kawasan hutan adatnya, menjadi salah satu bukti kehadiran pemerintah untuk melindungi hak masyarakat tradisional sekaligus mensejahterakannya dalam bingkai sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Data dan potensi hutan adat yang masuk dalam Peta Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Hutan Adat tersebut, tambah dia, sebagian menunggu pengesahan keputusan tentang perlindungan dan pengakuan masyarakat adat yang berhak atas kawasan adat dimaksud dari pemerintah daerah. Keberadaan pemerintah daerah penting karena pengakuan dari pemerintah daerah melalui peraturan daerah atas MHA dan wilayahnya menjadi syarat kukuhnya keberadaan MHA di suatu provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan yang diatur dalam UU 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan dan UU 6 Tahun 2014 Tentang Desa.
Disebutkan Menteri LHK, khusus untuk Hutan Adat yang merupakan bagian dari Perhutanan Sosial, sampai dengan Juli 2021 telah ditetapkan sebanyak 59.442 Ha dengan jumlah SK sebanyak 80 unit yang mencakup 42.038 Kepala Keluarga. Selain itu wilayah indikatif hutan merupakan areal yang sudah jelas indikasi masyarakat adatnya dan sudah jelas arealnya yang tidak memungkinkan lagi untuk peruntukan lain, maka relatif aman.
"KLHK sedang terus upayakan fasilitasi bagi masyarakat adat dalam urusan hal-hal tersebut di Pemerintah Daerah sesuai UUCK. KLHK juga meminta bantuan aktivis adat untuk bersama menyelesaikan permasalahan tersebut, kita sedang kerja keras, termasuk masyarakat adat Danau Toba," ujar Siti Nurbaya.
Sebagaimana kita saksikan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan pidato pada Sidang Tahunan MPR tahun 2021 dan Pidato Kenegaraan pada Sidang Bersama DPR dan DPD dalam rangka HUT ke-76 Proklamasi Kemerdekaan RI, di Ruang Rapat Paripurna, Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, pada 16 Agustus 2021. Presiden mengenakan Baju Adat Suku Baduy, seperti tahun-tahun sebelumnya yang merefeksikan dan aktualisasi kekayaan adat istiadat yang beraneka ragam, kebinekaan.
Dikemukakan Menteri Siti Nurbaya, pengenaan baju adat sebenarnya sudah sering dilakukan Presiden dan Wakil Presiden dalam momen-momen penting kenegaraan sejak masa kepemimpinan Presiden Jokowi. Salah satu alasan pemakaian pakaian adat daerah oleh Presiden dan Wakil Presiden untuk menunjukkan masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku, budaya, ras dan agama. Namun, tetap satu dalam naungan NKRI dan kerangka Bhinneka Tunggal Ika. Selain itu juga berarti Presiden menaruh perhatian pada setiap jengkal wilayah Indonesia dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote.
Menteri LHK mengatakan, Presiden Jokowi menaruh perhatian yang sangat besar terhadap semua suku bangsa yang ada di Indonesia dan tidak memiliki keraguan sedikitpun untuk mengakui keberadaanya. Penyerahan 8 SK Penetapan Hutan Adat pada 30 Desember 2016, dan 35 SK selanjutnya pada 7 Januari 2021 oleh Presiden, mempertegas ketidakraguan pemerintah untuk terus melakukan percepatan pengakuan terhadap kawasan hutan adat di seluruh Indonesia.
Menteri Siti menambahkan perlu adanya sinergisitas antar Kementerian dan Lembaga karena persoalan MHA ini tidak bisa dilakukan oleh KLHK saja, karena ada subjek (manusia), budaya maupun kawasan bukan hutan yang berada di kewenangan yang berbeda. Selain itu perlunya pemahaman pemerintah kabupaten/kota sebagai garda terdepan dalam upaya Perlindungan MHA dan kearifan lokalnya melalui upaya-upaya identifikasi, dan verifikasi MHA yang ada di wilayahnya.
"Akses kelola hutan adat ini akan memberikan beberapa manfaat kepada masyarakat adat, yaitu penguatan pengelolaan hutan adat berdasarkan kearifan lokal yang telah teruji selama puluhan tahun," imbuhnya.
Ia pun menekankan salah satu hal penting yang perlu diperhatikan dalam penetapan hutan adat adalah pemahaman bahwa penetapan hutan adat tidak berarti mengubah fungsi hutan, sebagaimana tercantum dalam UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, namun penetapan hutan adat merupakan penetapan status hutan yang tidak serta merta dapat merubah fungsi hutan. Artinya penetapan hutan adat harus mengarah untuk pengelolaan yang berkearifan lokal untuk mendukung pembangunan hutan yang berkelanjutan.
"Praktik-praktik hutan adat yang menjaga alam ikut mengatasi emisi gas rumah kaca, emisi global, dan mata air, serta aktualisasi partikularistik wilayah dan masyarakat adat sebagai wujud kemajemukan NKRI," ujar Menteri.
Realisasi Perhutanan Sosial
Terkait perkembangan realisasi Perhutanan Sosial tercatat hingga Juli 2021 telah ada 4.720.474,89 Ha izin perhutanan sosial yang diberikan dengan penerima manfaat sebanyak total 1.029.223 kepala keluarga, melalui sebanyak 7.212 unit SK.
Menurut Menteri Siti, jika Program Perhutanan Sosial adalah program reforma agraria untuk keadilan akses masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan yang ditunjang dengan program pemerataan ekonomi agar memberikan manfaat ekonomi dengan prinsip-prinsip pengelolaan hutan yang berkelanjutan. Pemerintah berkomitmen meningkatkan alokasi lahan kawasan hutan dari 400 ribu ha menjadi 12,7 juta ha atau sepertiga (30%) dari total kawasan hutan Indonesia untuk dikelola oleh masyarakat setempat.
Perhutanan Sosial sudah secara formal termaktub dalam UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) artinya dalam pengelolaan hutan masyarakat harus dilibatkan secara aktif, tidak boleh ada lagi petani kecil asal ditangkap, justru mereka harus dirangkul dan diberi akses mengelola kawasan dalam bentuk Perhutanan Sosial. Kebijakan baru ini mengkoreksi kebijakan di masa lalu yang akibat-akibatnya sekarang kita rasakan dan sedang dibenahi satu per satu. Tantangannya tidak mudah, tapi pemerintah terus berupaya berpihak kepada rakyat.
Perhutanan Sosial juga menjadi salah satu bentuk pengembangan ekonomi hijau seperti yang disampaikan oleh Presiden Jokowi dalam pidato pada Sidang Tahunan MPR tahun 2021 dan pidato kenegaraan pada Sidang Bersama DPR dan DPD dalam rangka HUT ke-76 Proklamasi Kemerdekaan RI hari ini. Dengan Perhutanan Sosial, era sektor kehutanan yang pada era yang lampau didominasi ekploitasi komoditas kayu mulai digeser dengan model ekonomi baru yang lebih menghargai hutan secara tepat.
Redaktur: Marcellus Widiarto
Penulis: Marcellus Widiarto
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Berita Terkini
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium
- Misi Terbaru Tom Cruise: Sabotase Pasukan Jerman!
- AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Penerbangan Natal dan Tahun Baru 2024/2025
- Sambut Natal 2024, Bank Mandiri Bagikan 2.000 Paket Alat Sekolah hingga Kebutuhan Pokok di Seluruh Indonesia