Pemerataan Infrastruktur Bakal Tekan Ketimpangan Antarwilayah
Foto: KORAN JAKARTA/ONESJAKARTA - Sejumlah kalangan mengemukakan pemerintah mesti segera mengatasi ketimpangan ekonomi antarwilayah di Tanah Air agar tidak menimbulkan permasalahan ekonomi dan sosial dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sejumlah solusi yang dinilai bisa mengatasi kesenjangan tersebut, antara lain pemerataan pembangunan infrastruktur untuk menumbuhkan pusat-pusat ekonomi baru terutama di luar Jawa dengan melibatkan swasta, BUMN, dan BUMD.
Ekonom Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Aloysius Gunadi Brata, mengemukakan pembangunan infrastruktur di luar Jawa, seperti jalan tol, jembatan, pelabuhan, dan bandara, berpeluang mendorong pemerataan pembangunan di Indonesia. "Ini juga membuat antarwilayah semakin terkoneksi. Biaya logistik semakin murah.
Yang perlu didorong adalah pemanfaatan infrastruktur untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi masyarakat," papar dia, ketika dihubungi, Jumat (12/4). Pakar ekonomi dari Universitas Brawijaya Malang, Munawar Ismail, menambahkan program infrastruktur pemerintah bersifat positif, namun tidak bisa diharapkan untuk menghapus ketimpangan dalam jangka pendek.
"Nilainya terlalu pagi, karena manfaat infrastruktur bersifat jangka panjang. Dengan koneksi antardaerah yang lebih baik, harapannya pembangunan regional jadi seimbang, dengan catatan terjadi penyebaran pendapatan ke wilayah yang kurang berkembang," jelas dia. Akan tetapi, imbuh Munawar, jika yang terjadi sebaliknya bahwa wilayah minus semakin banyak belanja ke wilayah yang maju, maka ketimpangan akan semakin buruk.
Sebelumnya dikabarkan, ketimpangan ekonomi antarwilayah di Indonesia dinilai menjadi faktor utama stagnasi laju pertumbuhan ekonomi di level lima persen belakangan ini. Guna mempersempit disparitas ekonomi tersebut, pemerintah perlu mendorong produktivitas pada berbagai sektor yang berpotensi memberikan kontribusi tinggi pada pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), serta koperasi.
Direktur Eksekutif Core Indonesia, Mohammad Faisal, menilai ketimpangan ekonomi antarwilayah di Indonesia selama 20 tahun terakhir masih tetap lebar. Distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa masih yang dominan dibandingkan pulau lainnya, yaitu mencapai 59 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Nasional.
"Disusul Sumatera 21 persen, Kalimantan delapan persen, Sulawesi enam persen, Bali dan Nusa Tenggara tiga persen, Maluku dan Papua tiga persen. Jadi tidak ada perubahan, tidak ada shifting," ungkap Faisal, belum lama ini. Terkait pertumbuhan, Gunadi mengatakan semakin bertambah jumlah penduduk akan membutuhkan konsumsi yang semakin besar.
Namun, jika konsumsi bukan dipenuhi oleh industri nasional akan sangat sulit mencapai target pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen. "Jika impor barang konsumsi terus besar maka industri manufaktur Tanah Air yang 99 persen UMKM sulit untuk didorong naik dan kesenjangan antarwilayah akan makin besar," papar dia.
Tantangan Ekonomi
Ekonom senior Indef, Nawir Messi, juga mengatakan pembangunan ekonomi masih berpusat di Jawa. "Ini perlu perhatian serius. Tidak hanya terkait ekonomi, tapi juga persoalan politik ke depan," ungkap dia. Apalagi, menurut dia, situasi perekonomian domestik tahun ini dan tahun depan tidak terlalu baik, mengingat pelemahan ekonomi global.
Untuk itu, target-target akselerasi pertumbuhan ekonomi harus tetap mempertimbangkan aspek stabilitas. Nawir menambahkan, isu lain yang menjadi tantangan ekonomi Indonesia adalah kontribusi impor konsumsi yang sudah mencapai sembilan persen dalam tiga tahun terakhir.
Impor konsumsi memperlihatkan bahwa industri dalam negeri tidak mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri karena struktur ekonomi semakin bergesernya ke arah jasa. Di sisi lain, dia menilai deindustrialisasi yang terjadi di Indonesia lebih cepat dibandingkan negara ASEAN lain.
Dalam 10 tahun terakhir, Indonesia mengalami penurunan porsi manufaktur terhadap PDB sebesar tujuh persen, sedangkan negara sebaya di ASEAN, seperti Thailand dan Malaysia, tidak lebih dari empat persen.
Menurut Nawir, deindustrialisasi diperparah melalui perubahan pola investasi asing langsung (FDI) yang cenderung berada di sektor tersier dibandingkan sekunder. "Revolusi industri 4.0 juga tidak ada perencanaan yang mendasar mengenai apa yang perlu dikembangkan di sektor prioritas," tutur dia.
- Baca Juga: Optimalkan Modernisasi Sektor Perikanan
- Baca Juga: Permintaan kue keranjang menjelang Imlek
YK/SB/WP
Penulis: Eko S, Selocahyo Basoeki Utomo S
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Desa Wisata Jatijajar Depok
- 2 Tunjangan Dosen Terkendala, Ini Penjelasan Mendiktisaintek
- 3 Ayo Dukung Penguatan EBT, Irena Jadikan Asean sebagai Prioritas Percepatan Transisi Energi
- 4 Cegah Penularan, Pemprov Jatim Salurkan 7.000 Dosis Vaksin PMK ke Pacitan
- 5 Guterres: Umat Manusia telah Membuka “Kotak Pandora” yang Penuh Masalah
Berita Terkini
- Sukses Digelar, Semangat Awal Tahun 2025 by IDN Times Dihadiri Ketua Dewan Ekonomi Nasional
- League Rilis Sepatu Running Terbaru untuk "New Runners"
- Gerak Cepat, KP2MI Jemput WNI Korban Penyekapan di Myanmar
- Warga Harus Waspada, Polisi Ungkap Penipuan Skema Ponzi dengan Modus Arisan
- Ada Apa Tiba-tiba CEO TikTok Berterima Kasih Kepada Trump