Para Pemimpin Dunia Hadiri KTT Iklim di Azerbaijan, Sejumlah Nama Besar Absen
Kepala iklim PBB Simon Stiell menyampaikan pidato selama pembukaan Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP29) 2024 di Baku.
Foto: AFP/Alexander NEMENOVBAKU - Para pemimpin dunia berkumpul di Azerbaijan pada hari Selasa (12/11) untuk COP29, namun banyak nama besar melewatkan pembicaraan iklim PBB di mana dampak kemenangan pemilu Donald Trump sangat terasa.
Lebih dari 75 pemimpin diperkirakan akan hadir di Baku selama dua hari, namun pemimpin negara ekonomi terkuat dan berpolusi tidak menghadiri pertemuan puncak tahun ini.
Hanya segelintir pemimpin negara anggota G20 - yang menyumbang hampir 80 persen emisi gas rumah kaca - diperkirakan akan hadir di Baku, termasuk Perdana Menteri Inggris Keir Starmer.
"Pemerintah ini percaya bahwa keamanan iklim adalah keamanan nasional," kata Menteri Energi Ed Miliband di X pada hari Senin (11/11).
Joe Biden, Xi Jinping, Narendra Modi, dan Emmanuel Macron termasuk di antara para pemimpin G20 yang tidak hadir pada acara tersebut, di mana ketidakpastian akan persatuan AS di masa mendatang dalam aksi iklim membayangi pada hari pembukaan.
Utusan iklim utama Washington berupaya meyakinkan negara-negara di Baku bahwa terpilihnya kembali Trump tidak akan mengakhiri upaya AS dalam mengatasi pemanasan global, meskipun hal itu akan "dikesampingkan".
Kepala iklim PBB Simon Stiell juga mengimbau solidaritas, memulai pembicaraan pada hari Senin dengan mendesak negara-negara untuk "menunjukkan bahwa kerja sama global tidak surut".
Namun, hari pembukaan dimulai dengan awal yang sulit, dengan pertikaian mengenai agenda resmi yang menunda dimulainya acara formal di lokasi stadion dekat Laut Kaspia.
Malam harinya, pemerintah negara-negara menyetujui standar PBB baru untuk pasar karbon global sebagai langkah penting untuk memungkinkan negara-negara memperdagangkan kredit guna memenuhi target iklim mereka.
Presiden COP29 Mukhtar Babayev memuji sebuah "terobosan" setelah bertahun-tahun diskusi yang rumit, tetapi masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan sebelum pasar yang didukung PBB dapat terwujud sepenuhnya.
Negosiasi yang Sulit
Namun, prioritas utama di COP29 adalah mencapai kesepakatan untuk meningkatkan pendanaan aksi iklim di negara-negara berkembang.
Negara-negara ini - dari kepulauan dataran rendah hingga negara-negara terpecah belah yang berperang - paling tidak bertanggung jawab terhadap perubahan iklim tetapi paling berisiko akibat naiknya permukaan air laut, cuaca ekstrem, dan guncangan ekonomi.
Beberapa pihak mendorong agar janji yang ada sebesar $100 miliar per tahun ditingkatkan sepuluh kali lipat pada COP29 untuk menutupi biaya masa depan negara mereka dalam beralih ke energi bersih dan beradaptasi dengan guncangan iklim.
Babayev, mantan eksekutif minyak, mengatakan kepada para negosiator bahwa triliunan mungkin dibutuhkan, tetapi angka ratusan miliar lebih "realistis".
Negara-negara telah berdebat mengenai hal ini selama bertahun-tahun, dengan ketidaksepakatan mengenai berapa banyak yang harus dibayarkan, dan siapa yang harus membayarnya, sehingga membuat kemajuan yang berarti hampir mustahil dilakukan menjelang COP29.
"Ini tidak akan menjadi negosiasi yang mudah, mungkin yang paling menantang sejak Paris," kata negosiator iklim Jerman Jennifer Morgan.
Negara-negara berkembang memperingatkan, tanpa pendanaan yang memadai, mereka akan kesulitan menawarkan pembaruan yang ambisius terhadap tujuan iklim mereka, yang harus diserahkan negara-negara tersebut paling lambat awal tahun depan.
Kelompok kecil negara maju yang saat ini menyumbang uang, menginginkan agar jumlah donor diperluas agar mencakup negara-negara kaya lainnya dan penghasil emisi terbesar, termasuk Tiongkok dan negara-negara Teluk, keinginan yang ditolak mentah-mentah oleh Beijing.
Stiell memperingatkan negara-negara kaya untuk "membuang jauh-jauh gagasan bahwa pendanaan iklim adalah amal".
- Baca Juga: Kebakaran Hebat Landa Daerah Kumuh di Manila
- Baca Juga: Putin Akan Terus Uji Misil Berkemampuan Nuklir
Sekitar 50.000 orang menghadiri pertemuan puncak di Azerbaijan, negara minyak yang diapit antara Russia dan Iran, termasuk para pemimpin banyak negara Afrika, Asia, dan Amerika Latin yang dilanda bencana iklim.
Berita Trending
- 1 Cegah Jatuh Korban, Jalur Evakuasi Segera Disiapkan untuk Warga Sekitar Gunung Dempo
- 2 Kampanye Akbar, RIDO Bakal Nyanyi Bareng Raja Dangdut Rhoma Irama di Lapangan Banteng
- 3 Dharma-Kun Berjanji Akan Bebaskan Pajak untuk Pengemudi Taksi dan Ojek Online
- 4 Kasad Hadiri Penutupan Lomba Tembak AARM Ke-32 di Filipina
- 5 Masyarakat Perlu Dilibatkan Cegah Gangguan Mental Korban Judol
Berita Terkini
- Bumi Punya 'Bulan Mini' yang Bergerak Cepat Mendekat ke Bumi pada Januari Nanti
- BKD Banten Periksa Pejabat Kesbangpol Buntut Spanduk Kontroversial
- Bali Dikategorikan Destinasi Tak Layak Dikunjungi, Komisi VII DPR Minta Pemangku Kepentingan Turut Evaluasi Wisata di Bali
- Pesawat Kargo DHL Jatuh Menabrak Sebuah Rumah di Lithuania, 1 Orang Tewas
- Ansar Ahmad Sebut Gen Z Pegang Peran Krusial Bangun Kepri Lebih Maju