Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Foto Video Infografis

Negara Barat Jor-joran Bantu Ukraina, Myanmar Diabaikan, Kenapa?

Foto : Stringer/EPA

Rakyat Myanmar melakukan aksi protes.

A   A   A   Pengaturan Font

Nicholas Farrelly, University of Tasmania dan Adam Simpson, University of South Australia

Dua tahun setelah kudeta Myanmar pada 1 Februari 2021, kuatnya dan berkembangnya perlawanan militer di negara tersebut hampir tidak mendapat perhatian dari luar negeri.

Kelompok oposisi pro-demokrasi, yang digawangi oleh Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (National Unity Government/NUG) - terdiri dari berbagai kelompok, tentara, milisi, dan individu yang berbeda - kesulitan untuk menarik perhatian global, bahkan walaupun keberhasilannya di medan perang cukup signifikan.

Yang paling menonjol adalah permohonan bantuan senjata dari kelompok oposisi tersebut kepada negara-negara Barat guna membantu melawan kebrutalan yang dilakukan oleh junta militer. Namun permohonan tersebut diabaikan.

Tanggapan negara Barat terhadap perang Rusia-Ukraina sangat berbeda dibanding terhadap konflik Myanmar. Kedua konflik ini memang tidak serupa, namun sangat mengejutkan jika melihat betapa Ukraina telah sangat menyita perhatian komunitas internasional, sementara Myanmar hampir sepenuhnya terabaikan.

Tidak adanya tokoh kharismatik dalam perang

Mungkin salah satu penyebab kurang populernya konflik Myanmar berkaitan dengan ada tidaknya seorang pemimpin yang bisa menjadi ikon. Sejak sosok pemimpinnya, Aung San Suu Kyi, digulingkan dan tokoh publik lainnya dipenjara, pasukan perlawanan Myanmar kini tidak memiliki tokoh publik yang dapat dikenali oleh negara lain.

NUG memiliki seorang penjabat presiden, Duwa Lashi La, yang sesekali muncul di YouTube dan media sosial. Ia memiliki reputasi yang kuat di antara etnis Kachin di bagian utara Myanmar, namun di panggung global, bahkan nasional, ia hampir tidak dikenali.

Ini jauh berbeda dengan situasi di Ukraina. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky telah bertransformasi menjadi seorang komandan selama masa perang dan itu membuat dirinya memiliki profil global yang sangat berpengaruh. Ia telah mampu memberikan pidato, yang ditulis dengan hati-hati, di depan parlemen asing. Pidatonya membangkitkan semangat, baik untuk rakyat Ukraina maupun pada pertemuan internasional penting.

Upayanya untuk terus-menerus memfokuskan kembali perhatian pada fase pertempuran di Ukraina telah menginspirasi rakyatnya sendiri, dan membuat bendera Ukraina menjadi simbol perlawanan yang kuat dalam menghadapi tirani.

Kurangnya narasi sederhana

Ukraina juga telah menguasai medan perang di dunia digital. Para pemimpinnya menyederhanakan narasi dan punya cara yang ampuh untuk menggambarkan bagaimana perjuangan "kebaikan" melawan "kejahatan", yang membuat negara-negara demokrasi Barat merasa tertuntut untuk menawarkan dukungan simbolis dan material.

Sementara di Myanmar, kompleksitas yang mencakup etnis, linguistik, geografis, ideologis, sejarah, dan banyak lagi telah membuat narasi semacam itu jauh lebih sulit untuk dilakukan dan dipertahankan.

Kejahatan genosida terhadap etnis Rohingya pada 2017, yang terjadi di bawah kepemimpinan Suu Kyi, juga telah mengotori kisah yang sederhana tentang seorang peraih Nobel Perdamaian yang berhadapan dengan militer Myanmar yang brutal.

Pemerintahan Suu Kyi memang tidak melakukan pengawasan ataupun punya kendali atas militer yang melakukan pembantaian tersebut, tetapi hal ini tak ada artinya. Keputusan Suu Kyi yang keras kepala membela tindakan militer tersebut di Mahkamah Internasional pada 2019 telah mengubah opini internasional secara dramatis.

Kini, dengan perlakuan Myanmar terhadap Rohingya, menjadi pertanyaan apakah Suu Kyi - atau pemerintahannya yang terpilih secara demokratis - pantas mendapatkan simpati dan dukungan dari negara Barat seperti yang pernah mereka terima.

Terpinggirkan di panggung global

Lokasi geografis juga penting. Dalam penalaran strategis global, isu Myanmar hampir selalu hanya menjadi diskusi selingan di antara negara Barat.

Sebaliknya, selama satu abad atau lebih, Ukraina selalu menjadi titik persaingan strategis, terutama dalam duel antara kekuatan Barat dan Moskow. Karena itulah negara Barat melihat serangan Rusia, yang memiliki senjata nuklir, terhadap Ukraina selama dekade terakhir ini sebagai ancaman geopolitik tingkat tinggi.

AS bahkan berkomitmen memberikan total bantuan senilai US$50 miliar (Rp 751 miliar) ke Ukraina pada tahun 2022, yang sekitar setengahnya terkait dengan bantuan militer.

Dengan Myanmar dianggap sebagai titik konflik yang kurang signifikan, sebagian besar komunitas internasional (termasuk badan regional negara-negara Asia Tenggara, ASEAN) enggan memberikan dukungan militer kepada para pejuang yang tengah melawan junta militer di Myanmar.

Secara historis, senjata-senjata yang diselundupkan ke Myanmar untuk mendukung tentara anti-pemerintah masuk melalui negara-negara tetangga, terutama Thailand dan India. Namun saat ini, para pemimpin di Bangkok dan New Delhi enggan terlalu terlibat dalam kekacauan Myanmar. Mereka juga harus mengawasi pemberontakan yang terjadi di internal mereka sendiri.

Jika senjata dan bahan keperluan perang benar-benar mengalir ke Myanmar saat ini, mereka diselundupkan secara diam-diam, sebisa mungkin tanpa diketahui.

Karena negara Barat tidak secara terbuka memasok senjata untuk kubu perlawanan dengan memasok senjata, para pejuang melakukan pengumpulan dana masyarakat untuk dapat membeli senjata serta menggunakan bahan peledak yang disatukan dengan logam bekas.

Sementara itu, junta militer telah membangun gudang senjata yang sangat besar yang amunisinya dibeli dari Rusia dan Cina, atau diproduksi sendiri di dalam negeri menggunakan persediaan dari perusahaan asal AS, Jepang, dan Prancis.

Geopolitik juga penting ketika menyangkut pengadilan internasional.

Ada dua kasus genosida berturut-turut yang berkaitan dengan Myanmar dan Ukraina yang sedang diproses oleh Pengadilan Internasional di Den Haag. Kasus Ukraina, walaupun masih kurang dari 12 bulan setelah laporan diterima, telah mendapatkan intervensi formal oleh hampir semua negara Barat - total 33 negara.

Sebaliknya, kasus Myanmar terkait Rohingya sudah masuk ke Pengadilan Internasional sejak 2019, tapi tidak ada satu negara pun yang telah secara resmi melakukan intervensi, meskipun beberapa negara sempat menunjukkan kemungkinan untuk melakukannya.

Kesempatan untuk mendukung demokrasi

Alasan lain mengapa respons internasional, khususnya di ASEAN, sangat tentatif terhadap konflik Myanmar adalah karena mereka menganggap bahwa para pelaku kudeta Myanmar pada akhirnya akan memiliki kekuatan yang cukup untuk terus berkuasa di negara itu.

Tapi kita harus mempertanyakan apakah anggapan tersebut benar. Pada awal 2023, setelah dua tahun terjadinya protes dan kekerasan, junta militer terlihat sangat rentan.

Negara-negara yang cenderung berpengaruh di ASEAN, terutama Malaysia dan Indonesia, mulai menegur keras militer Myanmar.

Sepertinya mereka tidak ingin reputasi seluruh kawasan itu ternodai oleh kebrutalan junta di Myanmar. Mereka juga menyadari bahwa kekuatan anti-rezim tengah berupaya mengambil alih kekuasaan dan memegang posisi yang signifikan.

Dengan kondisi tersebut, masyarakat internasional perlu bergerak lebih cepat untuk mempertimbangkan masa depan Myanmar setelah perang ini berakhir. Ini termasuk secara dramatis membatasi kemampuan militer Myanmar untuk mendapatkan legitimasi internasional, meningkatkan upaya untuk membuat para jenderal kekurangan pasokan senjata dan sumber daya keuangan, serta mendukung penuntutan kejahatan perang ini di Pengadilan Internasional.

Pada saat yang sama, kekuatan revolusioner Myanmar membutuhkan dukungan - baik di medan perang maupun dalam upaya sipil untuk membangun kembali masyarakat yang mengalami trauma.

Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun, invasi di Ukraina telah dengan jelas menunjukkan bahwa kekuatan militer Barat berhasil digunakan untuk mendukung demokrasi yang tengah ditekan.

Andai sebagian kecil saja dari dukungan untuk Ukraina diberikan kepada para pejuang demokrasi di Myanmar, mereka akan punya kesempatan untuk membangun negara demokrasi yang berkembang pesat di jantung Asia suatu hari nanti.The Conversation

Nicholas Farrelly, Professor and Head of Social Sciences, University of Tasmania dan Adam Simpson, Senior Lecturer, International Studies, University of South Australia

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.


Redaktur : -
Penulis : -

Komentar

Komentar
()

Top