Motret Pariwisata "Tempo Doeloe"
Belakangan, pesanggrahan jadi ajang temu Mangkunegara IV (1853-1881) dengan Residen Surakarta Joekel bersama Residen Madiun Velser tahun 1879. Dengan berkuda, dua petinggi Belanda diajak berkeliling menghayati setiap jengkal pemandangan Tawangmangu.
Di Perpustakaan Nasional Jakarta, ditemukan pula istilah plesiran dalam Djawi Kondo edisi 17 Agustus 1907. Redaktur koran lawas ini mengeluarkan berita Gemar Plesir. Juru warta memotret fenomena wong Solo yang doyan plesiran, "Siapa yang tidak gemar plesir?" Pertanyaan ini dapat dijawab, "Tiadalah!" Sebab semua orang baik lelaki atau perempuan menyukai karena plesir menghibur hati. Tetapi tuan-tuan boleh percaya, tiada orang yang amat gemar plesir melebihi orang Solo, bangsa apa pun, entah ada keramaian ataupun hari biasa."
Selepas pemerintah kolonial Belanda dan kerajaan tradisional digulung badai revolusi ditandai dengan berdirinya negara Indonesia, terminologi unik tersebut belum amblas. Dalam pemberitaan ariwarta Suara Merdeka (21 Nov 1987), Wali Kota Surakarta, Hartomo, dalam sebuah sarasehan pariwisata menyebut bahwa yang menganugerahi predikat kota plesiran adalah orang-orang yang suka plesir sendiri, bukan wong Solo. Argumentasi ini menegaskan, pariwisata Solo lumayan semarak waktu itu.
Buahnya, UMKM dan warung makan turut memanen rezeki dari kegiatan pariwisata. Bidang Pariwisata menjadi berkah, tanpa kecuali bakul nasi liwet perdesaan Baki Sukoharjo. Dalam skala global, performa industri pariwisata Solo bisa dikatakan lumayan. Kaum kulit putih menjuluki surganya Hindia Belanda.
Maka, wajar kalau Pak Jokowi mencanangkan pariwisata sebagai salah satu sektor penyumbang devisa terbesar. Berlaku adagium, pengalaman sejarah adalah guru yang terbaik.
Halaman Selanjutnya....
Komentar
()Muat lainnya