Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Motret Pariwisata "Tempo Doeloe"

Foto : koran jakarta/ones
A   A   A   Pengaturan Font

Oleh Heri Priyatmoko

Dua hari lalu, Koran Jakarta (11/3) menurunkan sepucuk artikel "UMKM, KUR, dan Pariwisata" yang membeberkan bidang pariwisata ditetapkan Presiden Jokowi sebagai leading sector pertumbuhan ekonomi nasional. Dia paling sustainable, menyasar akar rumput dan acap tumbuh.

Ekosistem pariwisata turut terlibat, tanpa kecuali pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang menyuguhkan buah tangan. Dalam epilog, disebutkan, Kredit Usaha Rakyat (KUR) sektor pariwisata mampu menjadi pilar mendongkrak devisa dan menuju kemandirian pembiayaan. Asa terpacak, roda ekonomi daerah dan nasional akan menggelinding.

Menarik mencermati fenomena pariwisata di Indonesia yang dilontarkan Presiden Jokowi beserta buah pikiran dalam artikel tersebut. Dalam panggung sejarah Indonesia, pariwisata bukanlah "dagangan baru" Jika digarap serius, dia bakal berdampak positif bagi masyarakat lokal.

Permulaan abad XX, Solo telah dianugerahi julukan "kota plesiran." Hingga kini, Surakarta masih menempati posisi penting dalam jagad pariwisata nasional. Nama tersebut pertama muncul saat para pelancong singgah ke Solo dan sekitarnya. Mereka menikmati keraton, candi, pertunjukan seni, serta sajian kuliner.

Perlu mengusut istilah yang bertemali dengan bidang pariwisata agar lebih gamblang. Berabad silam, menyeruak terminologi traveller (Ingg.) yang mengandung arti: orang (yang) bepergian. Serupa istilah reiziger (Bel) yang artinya orang bepergian/melakoni perjalanan. Arti lain dari traveller dan reiziger, pelancong tergantung konteksnya karena tidak seluruh traveller merupakan pelancong. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, "melancong" berarti bepergian untuk bersenang-senang.

Sedang riset Achmad Sunjayadi (2017) mengatakan, di Hindia Belanda dan negeri induk Belanda mengenalkan dua terminologi berlainan untuk pariwisata di pengujung abad XIX dan awal abad XX. Di Indonesia memakai istilah toeristenverkeer (lalu lintas wisatawan) yang memuat makna toerisme (pariwisata). Sedangkan di Belanda akrab istilah vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) yang lantas mengalami pergeseran makna menjadi toerisme (pariwisata).

Sebelum terminologi toeristenverkeer dipopulerkan, di Nusantara sempat menggunakan istilah vreemdelingenverkeer. Perbedaan ini perlu dicermati lantaran kosakata vreemdelingen (orang asing) yang dipakai di Belanda selanjutnya mengacu pada toeristen (wisatawan). Bila ditelisik dari segi makna, para wisatawan (toeristen) di negeri Belanda dituding sebagai orang asing kendati tidak semua pelancong merupakan orang asing.

Di Hindia Belanda sebelum mencomot istilah toeristenverkeer, terdapat sepucuk artikel di koran Bataviaasch Nieuwsblad (1905) memasang istilah vreemdelingenverkeer. Artikel ini mengulas ancangan pembentukan perhimpunan bermisi membenihkan vreemdelingenverkeer. Tapi, bukan berarti pendirian organisasi ini bernafsu memancing vreemdelingen (orang asing) menjejakkan kaki di tanah koloni seperti Solo (Candi Cetho dan Candi Sukuh). Misi yang didekap sejatinya menyuburkan minat penduduk (orang Eropa/Belanda) di Jawa untuk mengunjungi Surakarta dengan tujuan lanjutan mengetuk minat orang asing.

Perkara pariwisata zaman kolonial tidaklah sederhana. Achmad Sunjayadi mengajak mencermati kasus bersalinnya konsep vreemdelingenverkeer (lalu lintas orang asing) menjadi toeristenverkeer (lalu lintas wisatawan). Pengertian vreemdelingenverkeer yang sebelumnya dipakai pemerintah kolonial Belanda berganti menjadi toeristenverkeer yang bermakna toerisme (pariwisata).

Kenyataan itu ditandai dengan pendirian Vereeniging Toeristenverkeer (perhimpunan pengelolaan kegiatan pariwisata) di Batavia tahun 1908. Perubahan pandangan Belanda dari "orang asing" menjadi "wisatawan" menggambarkan proses perkembangan pariwisata di tanah koloni.

Dalam konteks lokal, semula pariwisata dipahami sebagai ikhtiar manusia melakukan tetirah untuk beristirahat dan berekreasi yang hanya dinikmati segelintir aristokrat. Contoh bangsawan kerajaan Jawa yang membangun pesanggrahan di Tawangmangu.

Arsip

Ada arsip sezaman di Perpustakaan Reksopustaka Mangkunegaran yang mencatat, Tawangmangu digunakan sebagai area rekreasi dan bersantai dibuktikan dengan pembangunan pesanggrahan Srikaton semasa Mangkunegara II tahun 1835. Omah besar tersebut dimaknai pula sebagai simbol kekuasaan raja.

Biasanya pesanggrahan dipakai raja sewaktu tedhak (mengunjungi suatu tempat di luar keraton) guna memahami wilayah kekuasaan serta menyambangi para kawula. Pembesar Mangkunegaran naik kuda menyusuri jalan di sesela lereng gunung, bola mata melumat pemandangan alam pegunungan dan mempelajari lingkungan.

Belakangan, pesanggrahan jadi ajang temu Mangkunegara IV (1853-1881) dengan Residen Surakarta Joekel bersama Residen Madiun Velser tahun 1879. Dengan berkuda, dua petinggi Belanda diajak berkeliling menghayati setiap jengkal pemandangan Tawangmangu.

Di Perpustakaan Nasional Jakarta, ditemukan pula istilah plesiran dalam Djawi Kondo edisi 17 Agustus 1907. Redaktur koran lawas ini mengeluarkan berita Gemar Plesir. Juru warta memotret fenomena wong Solo yang doyan plesiran, "Siapa yang tidak gemar plesir?" Pertanyaan ini dapat dijawab, "Tiadalah!" Sebab semua orang baik lelaki atau perempuan menyukai karena plesir menghibur hati. Tetapi tuan-tuan boleh percaya, tiada orang yang amat gemar plesir melebihi orang Solo, bangsa apa pun, entah ada keramaian ataupun hari biasa."

Selepas pemerintah kolonial Belanda dan kerajaan tradisional digulung badai revolusi ditandai dengan berdirinya negara Indonesia, terminologi unik tersebut belum amblas. Dalam pemberitaan ariwarta Suara Merdeka (21 Nov 1987), Wali Kota Surakarta, Hartomo, dalam sebuah sarasehan pariwisata menyebut bahwa yang menganugerahi predikat kota plesiran adalah orang-orang yang suka plesir sendiri, bukan wong Solo. Argumentasi ini menegaskan, pariwisata Solo lumayan semarak waktu itu.

Buahnya, UMKM dan warung makan turut memanen rezeki dari kegiatan pariwisata. Bidang Pariwisata menjadi berkah, tanpa kecuali bakul nasi liwet perdesaan Baki Sukoharjo. Dalam skala global, performa industri pariwisata Solo bisa dikatakan lumayan. Kaum kulit putih menjuluki surganya Hindia Belanda.

Maka, wajar kalau Pak Jokowi mencanangkan pariwisata sebagai salah satu sektor penyumbang devisa terbesar. Berlaku adagium, pengalaman sejarah adalah guru yang terbaik.

Penulis Dosen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma

Komentar

Komentar
()

Top