Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis

Menjelajahi Pendidikan 'Rasa' Plato

A   A   A   Pengaturan Font

ISBN : 978-979-21-5147-3

Konteks pemikiran Plato ditandai dengan sistem pemerintahan negara polis Athena yang kacau. Demokrasi yang tadinya menjunjung tinggi kebebasan dan keadilan justru menjadi anarkis dan korup. Realitas demikian dilihatnya akibat kesalahan pendidikan, khususnya anak-anak muda Athena.

Plato melihat pendidikan sebagai usaha merawat dan membudayakan jiwa. Jiwa bukanlah sesuatu yang sudah jadi. Dia plastis, bisa bergerak, dan berubah sesuai dengan objek serta model yang diberikan padanya. Maka, pendidikan dengan proses imitasi (meniru, mencontoh) menjadi amat penting. Orientasi yang diberikan kepada jiwa menjadi kunci keberhasilan pendidikan anak (hlm 51-58)

Ada dua tahap mendidik. Usia dini (sensibilitas prarasional) dan pradewasa (gimnastik). Anak didik pada usia dini dibiasakan mendengarkan mitos-mitos, tetapi yang bernilai baik dan benar. Selain itu, anak didik juga dibiasakan mencintai seni (puisi, syair, teater, dan musik) agar jiwa diarahkan pada keindahan dan kebaikan. Selanjutnya, pada tahap pradewasa anak didik dilatih merawat tubuhnya (gimnastik), tetapi bukan pertama-tama agar menjadi atlet. Gimnastik tidak menjadi tujuan pada dirinya, sebab yang paling penting jiwanya. Dalam latihan fisik, anak dilatih untuk diet makan dan pengendalian diri menghadapi rasa sakit atau situasi tak mengenakkan (hlm 78-94).

Intuisi pendidikan Plato sebetulnya sederhana, dimulai dari pendidikan 'rasa merasa.' Persis inilah yang justru diabaikan dalam konteks Indonesia. Anak-anak Indonesia sejak SD sudah dijejali kurikulum berat dan melebihi kewajaran. Anak-anak diperlakukan seperti hard disk kosong yang harus segera diisi berbagai fitur program. Pengandaiannya, semakin banyak tahu ilmu, semakin cepat pintar, dan semakin cepat membuat generasi bangsa maju. Belum lagi, anak-anak dibebankan kursus-kursus, sehingga mengidap penyakit school refusal, yang menolak sekolah dan menjadi depresi serta loyo (hlm 22).
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top