Dari Puisi Esai ke Film Layar Lebar
Denny JA bersama Direktur Utama Produksi Film Negara (PFN), Dwi Heriyanto menandatangani kerjasama (PKS) produksi film yang diangkat berdasarkan puisi esai pada Rabu (7 Desember 2022).
Foto: istimewaSudah banyak film layar lebar yang diangkat dari novel atau cerpen. Sangatlah jarang, bahkan untuk ukuran dunia film layar lebar yang diangkat dari puisi.
Untuk bisa diubah menjadi film, puisi itu sendiri harus memiliki unsur drama di dalamnya. Di sinilah keunggulan puisi esai. Puisi esai ini disamping selalu berangkat dari kisah sebenarnya yang sudah populer di masyarakat, ia juga memiliki elemen drama.
Hal ini disampaikan oleh Denny JA ketika bulan Desember ini, Studio Denny JA menandatangani kerjasama dengan PFN (Produksi Film Negara) untuk membuat film layar lebar.
"Setelah film ini, berbagai puisi esai unggulan lainnya akan menyusul diangkat menjadi film layar lebar," ujar Denny JA melalui keterangannya di Jakarta pada Senin (12 Desember 2022).
Film pertama yang diangkat dari puisi esai akan segera diproduksi untuk layar lebar. Hal itu disepakati oleh Studio Denny JA dan Produksi Film Negara (PFN) yang menandatangani kerjasama (PKS) produksi film yang diangkat berdasarkan puisi esai pada Rabu (7 Desember 2022).
Film tersebut berjudul "Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu". Film ini merupakan pengembangan dari puisi esai karya Denny JA berjudul "Kutunggu di Setiap Kamis".
Dalam kerjasama produksi film tersebut, Direktur Utama Produksi Film Negara Dwi Heriyanto dan tim inti Studio Denny JA sepakat untuk menyusun rencana makro.
Denny JA yang juga merupakan penggagas genre puisi esai ini menjelaskan bahwa PFN selaku wakil budaya dari pemerintah RI yang ikut menjadi fasilitator, patut diapresiasi karena menumbuhkan inisiatif para kreator masyarakat melahirkan film yang menginspirasi.
"Jika kita memiliki gagasan yang mencerahkan dan ingin gagasan itu menyentuh publik luas, maka sampaikanlah gagasan itu lewat musik dan film," ujar Denny JA.
Bukan tanpa dasar, ia merujuk pada data dari PEW Research Center pada tahun 2012 yang menunjukkan bahwa 67 persen social networkers menyukai musik dan film.
Lebih lanjut Denny JA mengungkapkan bahwa cerita asli dari puisi esai yang diangkat ke layar lebar itu mengenai seorang perempuan muda yang menunggu suaminya yang hilang pada peristiwa 1998.
"Sambil bergurau, suaminya berjanji akan pulang di hari Kamis, entah hari Kamis pada minggu ini, atau Kamis sepuluh tahun lagi", sambungnya.Karena itu, perempuan muda tersebut menunggu suaminya di stasiun kereta, berminggu-minggu, lalu berbulan-bulan, hingga bertahun-tahun.
"Namun suaminya tak kunjung pulang. Perempuan ini akhirnya pindah ke Jakarta. Ia bergabung dengan aksi kamisan dengan payung hitam, sesama warga yang kehilangan keluarganya masing-masing," lanjutnya.
Denny JA menjelaskan bahwa skenario film ini akan dikembangkan topiknya, seperti Aksi Kamisandengan payung hitam tidak hanya terjadi di Jakarta tetapi juga di daerah lain yang terinspirasi oleh Aksi Kamisan di Jakarta.
"Keluarga yang hilang juga bukan karena peristiwa politik, melainkan juga karena konflik sumber daya pertanahan, air dan lingkungan hidup. Sebuah perusahaan multinasional merebut tanah dan sumber daya alam rakyat banyak secara paksa. Mereka yang melawan banyak yang kemudian hilang, tak kunjung kembali," papar Denny JA.
Ia menambahkan, skenario ini adalah gabungan antara isu lingkungan hidup, perjuangan perempuan dan kisah cinta.Jika kita memperhatikan industri perfilman, banyak film yang mengangkat cerita hasil adaptasi novel atau cerpen, namun ini adalah film layar lebar pertama yang diadaptasi berdasarkan puisi esai."'Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu' akan menjadi film layar lebar pertama yang diangkat berdasarkan puisi esai," tegas Denny JA.
Menurutnya, kisah dalam puisi esai potensial untuk diangkat ke layar lebar, jika dibandingkan dengan puisi biasa. Pasalnya, puisi esai ini mengembangkan drama fiksi dengan karakter tokoh, dan plot, yang dituliskan secara puitis."Kisah dalam puisi esai pun selalu berdasarkan peristiwa sebenarnya yang difiksikan. Dengan sendirinya publik luas menyimpan memori kolektif tentang isu yang diangkat dalam puisi esai," jelasnya.
Denny JA menjelaskan, pada tahun 2012, sutradara Hanung Bramantyo pernah membuat lima film berdasarkan lima puisi esainya. Namun saat itu, film berdurasi 45 menit itu hanya dibuat untuk tujuan sosialisasi Gerakan Indonesia Tanpa Diskriminasi dan bukan ditujukan untuk layar lebar di bioskop.
"Para Dosen seringkali memutarkan film-film itu untuk kelas humanity studies dan para aktivis memutarkan film itu sebagai awal diskusi isu diskriminasi di Indonesia," kata Denny JA. Sementara film "Seribu Payung Hitam dan Sisanya Rindu" sengaja dibuat untuk film layar lebar yang akan diputar di bioskop komersial. "Ini akan membuka pintu bagi puisi esai lainnya untuk juga diangkat ke layar lebar," tutupnya.
Berita Trending
- 1 Regulasi Baru, Australia Wajibkan Perusahaan Teknologi Bayar Media Atas Konten Berita
- 2 Ini yang Dilakukan Pemkot Jaksel untuk Jaga Stabilitas Harga Bahan Pokok Jelang Natal
- 3 RI Harus Antisipasi Tren Penguatan Dollar dan Perubahan Kebijakan Perdagangan AS
- 4 Kemendagri Minta Pemkab Bangka dan Pemkot Pangkalpinang Siapkan Anggaran Pilkada Ulang Lewat APBD
- 5 Terapkan SDGs, Perusahaan Ini Konsisten Wujudkan Sustainability Action Plan
Berita Terkini
- Bom Meledak di Sebuah Festival di Thailand, 3 Orang Tewas Puluhan Terluka
- Ferrari Berambisi Rebut Gelar Konstruktor pada F1 2025
- Indonesia-AS Mitra Strategis dalam Memajukan Demokrasi dan Perdamaian
- TikTok Kalah dalam Pengadilan Banding untuk Menghentikan Pelarangan AS
- Olahraga Jangan Berlebihan, Istirahat 6-8 Pekan Penting Agar Hasilnya Maksimal