Mengembalikan Nalar Hukum
Foto:Oleh Benny Susetyo Pr
Tim dokter RSCM yang disupervisi Ikatan Dokter Indonesia menyatakan Setya Novanto tak perlu lagi menjalani rawat inap. Novanto pun dinyatakan sudah bisa menjalani pemeriksaan di depan penyidik. "Kalau ada pertanyaan, apakah yang bersangkutan sudah bisa diperiksa terkait penanganan perkara, itu sudah bisa," ujar Jubir KPK, Febri Diansyah.
Hasil pemeriksaan RSCM menyatakan Novanto tidak perlu dirawat lagi. Kasus Novanto penuh sinetron, penuh trik dan intrik yang menguras energi publik. Kasus ini memang tidak begitu mudah diselesaikan karena ada kekuatan tersembunyi yang memiliki kekuatan politik serta power yang menguasai segala lini.
Michel Foucault, salah seorang filsuf pelopor strukturalisme, berbicara tentang kekuasaan. Konsep kekusasan Foucault dipengaruhi Nietzsche. Foucault menilai filsafat politik tradisional selalu berorientasi soal legitimasi. Kekuasaan sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang memungkinkan dapat mewajibkan warga untuk mematuhi. Namun, menurut Foucault, kekuasaan adalah dimensi dari relasi. Setiap ada relasa di sana terdapat kekuasaan.
Dalam relasi kekuasaan itulah sebenarnya negara tidak bisa mengoptimalisasikan kekuasaan karena seorang akan memiliki power, bila memiliki akses terhadap politik dan kapital. Persoalannya, dalam relasi kekuasaan itu politik dan modal bisa mengendalikan hukum yang mempunyai kekuataan memaksakan sangsi. Namun, dalam relasi mandul, dalam kasus korupsi besar yang melibatkan orang memiliki relasi kekuasan yang menguasai lini kehidupan.
Hal ini menyebabkan betapa sulitnya mengurai kasus besar korupsi yang melibatkan orang kuat karena relasi kuasaannya melebih negara. Kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang memiliki power. Merkea menguasai cara berpikir, bertindak, dan berelasi. Inilah yang kemudian menciptakan tafsir tunggal mengenai hukum.
Kekuasaan hukum akhirnya tereduksi dalam kendali seseorang yang menentukkan kebenaran. Hal ini menyebabkan betapa sulitnya menyentuh orang besar yang memiliki relasi kuasa dominan atas aspek kehidupan. Keadilan akan mudah dipermainkan oleh mereka yang memiliki dominasi kekuasaan. Itulah yang menyebabkan keadilan sulit ditegakkan. Keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. Sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini.
Keadilan tidak untuk semua, tapi sebagian saja (yang bisa membeli). Keadilan jadi milik penguasa dan pemilik uang. Kita pun menjawab fakta tadi melalui berbagai pengalaman keseharian. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, tapi sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot dan uang) yang menceraikan. Keadilan negeri ini amat langka diperoleh karena tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum.
Kamuflase
Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat memperoleh pendidikan utama tentang keadilan negeri ini adalah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat. Mereka yang bermartabat hanyalah yang berkekuasaan dan berkekayaan.
Hukum seringkali hanya pajangan dan retorika pasal-pasal. Di depan cengkeraman kekuasaan dan orang kuat, hukum tak lagi bertaring. Dia tumpul akibat banyak macam. Hukum mandul karena kepandaiannya hanya menginjak ke bawah dan mengangkat yang atas.
Hukum belah bambu telah mengiris-iris rasa keadilan. Itulah perilaku yang menghancurkan martabat hukum dan bangsa. Tragedi ini bisa jadi akan makin mempertebal awan mendung dalam sistem hukum bangsa ini. Ungkapan Indonesia sebagai negara hukum seringkali hanya pemanis mulut. Ajaran kepada anak cucu tentang kedaulatan hukum hanya deretan kepalsuan demi kepalsuan.
Hukum dan keadilan bagaikan dua sisi mata uang. Mereka didamba selalu berdekatan, tapi tak pernah menyatu. Bahkan bertemu sekalipun tak pernah. Keduanya menghadap sisi-sisi yang lain dari realitas hidup warga. Keadilan hanya alat untuk memanis-maniskan realitas kehidupan yang demikian pahit. Ironis, sebab hukum dan keadilan sekadar hiburan bagi rakyat kecil.
Hukum ditegakkan di atas prinsip-prinsip keadilan sosial. Hukum juga harus memegang teguh kesederajatan dan menghindarkan diskriminasi. Hukum mengemban misi kemanusiaan dan ingin menciptakan proses berperikemanusiaan. Semua hidup sedang menuliskan sebuah sejarah. Baik-buruk, benar-salah dan tegas-plinplannya sebuah catatan sejarah masa mendatang berawal dari tindakan hari ini.
Ini semua masih soal pelajaran hidup berbangsa dan bernegara. Janganlah kita terus-menerus mendidik rakyat bahwa seseorang bisa memiliki kekebalan hukum karena ada jabatan. Di negara yang mengagung-agungkan hukum sebagai payung (rechstaat), imunitas terhadap hukum tidak berlaku. Semua berkewajiban dan berhak sama. Semua kesalahan harus diadili seadil-adilnya. Itu cara mengembalikan martabat hukum.
Yang sedang dipertontonkan hari ini, hukum tumpul menghukum orang kuat, mantan pejabat dan koruptor. Dia tajam beringas menghukum kelas teri. Maling ayam mendapatkan hukuman bertimpal-timpal dan koruptor kelas kakap justru mendapatkan kesempatan menikmati karpet merah. Mantan pejabat dihukum di tempat tidak biasa. Kesederajatan dalam hukum mulai dipunahkan oleh sikap arogan kekuasaan dan cara-cara tipu daya. Karena kekuasaan dan uang yang menjadi acuan, kita tak sanggup melihat hati nurani. Karena kekuasaan yang menentukan hitam putih hukum, mata hati kita tumpul. Keadilan sosial yang ingin ditegakkan lalu diabaikan.
Saat KPK menyadari relasi kekuasaan ada dalam diri-Nya, maka KPK harus memiliki kepercayaan diri bahwa relasi kekuasan kembali di dalam penegak hukum. Dia tidak boleh kalah dengan relasi kekuasaan personal. Di sinilah penting menyadari ucapan Michael Foucalt , dominasi kekuasaan bisa dikendalikan kalau dalam diri lembaga penegak hukum menyadari kekuasaan ada di dalam diri-Nya. Itu harus digunakan untuk menjaga martabat hukum, menegakan nilai keadilan sebagai aktualisasi nilai Pancasila. Penulis seorang imam
Redaktur:
Penulis: Arip, CS Koran Jakarta, Dika, Dimas Prasetyo, Dio, Fathrun, Gembong, Hamdan Maulana, Hayyitita, HRD, Ichsan Audit, Ikn, Josephine, Kelly, Khoirunnisa, Koran Jakarta, Leni, Lukman, Mahaga, Monic, Nikko Fe, Opik, Rabiatul Adawiyah, Rizky, Rohmad, Sujar, Tedy, User_test_2, Wahyu Winoto, Wawan, Zaky
Tag Terkait:
Berita Trending
- 1 Garuda Indonesia turunkan harga tiket Jayapura-Jakarta
- 2 Keluarga Sido Muncul Kembangkan Lahan 51 Hektare di Semarang Timur
- 3 Kejati NTB Tangkap Mantan Pejabat Bank Syariah di Semarang
- 4 Pemerintah Diminta Optimalkan Koperasi untuk Layani Pembiayaan Usaha ke Masyarkat
- 5 Dinilai Bisa Memacu Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Harus Percepat Penambahan Kapasitas Pembangkit EBT
Berita Terkini
- Status Pailit Sritex, Berikut Penjelasan BNI
- Arab Saudi: Habis Minyak Bumi, Terbitlah Lithium
- Misi Terbaru Tom Cruise: Sabotase Pasukan Jerman!
- AirNav Pastikan Kelancaran Navigasi Penerbangan Natal dan Tahun Baru 2024/2025
- Sambut Natal 2024, Bank Mandiri Bagikan 2.000 Paket Alat Sekolah hingga Kebutuhan Pokok di Seluruh Indonesia