Mengembalikan Nalar Hukum
Hal ini menyebabkan betapa sulitnya mengurai kasus besar korupsi yang melibatkan orang kuat karena relasi kuasaannya melebih negara. Kekuasaan dikendalikan oleh mereka yang memiliki power. Merkea menguasai cara berpikir, bertindak, dan berelasi. Inilah yang kemudian menciptakan tafsir tunggal mengenai hukum.
Kekuasaan hukum akhirnya tereduksi dalam kendali seseorang yang menentukkan kebenaran. Hal ini menyebabkan betapa sulitnya menyentuh orang besar yang memiliki relasi kuasa dominan atas aspek kehidupan. Keadilan akan mudah dipermainkan oleh mereka yang memiliki dominasi kekuasaan. Itulah yang menyebabkan keadilan sulit ditegakkan. Keadilan menjadi barang yang mudah dipermainkan kekuasaan dan uang. Martabatnya jatuh ke titik paling rendah. Sudah begitu banyak orang tahu keadilan susah diwujudkan di negeri ini.
Keadilan tidak untuk semua, tapi sebagian saja (yang bisa membeli). Keadilan jadi milik penguasa dan pemilik uang. Kita pun menjawab fakta tadi melalui berbagai pengalaman keseharian. Hukum dan keadilan bukan saja bagaikan saudara tiri yang jauh, tapi sering seperti musuh. Mereka jarang bisa bertemu karena begitu seringnya kekuatan lain (kuasa, otot dan uang) yang menceraikan. Keadilan negeri ini amat langka diperoleh karena tak pernah menjadi bagian dari cara berpikir, berperilaku, dan berelasi para penguasa dan penegak hukum.
Kamuflase
Perilaku mereka lebih mengutamakan kekuasaan dan popularitas. Rakyat memperoleh pendidikan utama tentang keadilan negeri ini adalah sebuah bayang-bayang kamuflase. Para penguasa dan penegak hukum tidak memiliki gugus insting yang melahirkan cakrawala kekuasaan mengedepankan rasa keadilan bagi semua. Hukum tak lagi bermartabat. Mereka yang bermartabat hanyalah yang berkekuasaan dan berkekayaan.
Halaman Selanjutnya....
Komentar
()Muat lainnya