Nasional Mondial Ekonomi Megapolitan Olahraga Rona The Alun-Alun Kupas Splash Wisata Perspektif Wawancara Edisi Weekend Foto Video Infografis
Konferensi Kota Batik Nusantara 2017

Menelisik Eksistensi Batik yang Sarat Dimensi Kesejarahan

Foto : koran jakarta/suradi

Nina Akbar Tandjung (berdiri, berbusana putih) berdampingan dengan ibunda Presiden Joko Widodo (berbusana hijau), ketika memberikan penjelasan terkait Konferensi Kota Batik Nusantara, di Wisma Batari, Jalan Slamet Riyadi, Solo.

A   A   A   Pengaturan Font

Perkembangan batik di Kota Surakarta sendiri memang tidak bisa terlepas dari peran tokoh-tokoh setempat, seperti almarhum Go Tik Swan yang menciptakan batik dengan ragam warna baru. Pada konferensi ini, pemikiran Go Tik Swan akan dipaparkan oleh ahli warisnya yaitu Ibu Anggraini Supiah. Beliau akan berbagi informasi seputar batik yang telah ditekuni Go Tik Swan semasa hidup. Untuk memperkaya referensi tentang bagaimana batik mengalami perkembangan seiring dengan perubahan sosial yang terjadi di masyarakat, peneliti batik Rahmad Bahari, Solichul Hadi Achmad Bakri, dan narasumber lainnya juga turut meramaikan jalan konferensi.

Selain demi mencerahkan publik mengenai jagad batik, KKBN juga mengajak masyarakat memiliki kesadaran spasial historis demi mewujudkan kota yang ramah sejarah. Karenanya, pemilihan Wisma Batari sebagai venue pun memiliki alasan tersendiri. Wisma Batari memiliki jejak sejarah mengenai betapa batik pernah menjadi alat perlawanan. Keberadaan gedung yang merupakan kantor Koperasi Batik Timur Asli (Batari) ini adalah bukti perlawanan terhadap dominasi Timur Asing.

Dalam bingkai yang lebih luas, KKBN ini dengan sendirinya menjadi napak tilas terhadap bagaimana sebuah perubahan sosial dapat mewujud pada sehelai batik. Napak tilas dalam KKBN ini pun menjadi kian lengkap dengan diluncurkannya film dokumenter produksi YWWI, "Hikayat Kampung Batik Surakarta." sur/R-1

Diakui Unesco

Rachmad Bahari mengungkapkan, penemuan teknik penggunaan canting cap atau stempel berbahan tembaga telah membuat waktu pembuatan lebih singkat dan dapat diproduksi massal. Ini dipelopori RM Resodipo Djiwanggono dari Kampung Kauman berlanjut ke Tegalsari dan berkembang pesat di Laweyan (sekitar pertengahan abad ke 19). Dengan demikian telah melahirkan kekuatan ekonomi baru di kalangan kelompok marginal (munculnya para saudagar batik sebagai kelompok borjuasi muslim Bumiputera). Stratifikasi sosial baru di kalangan kelompok marginal karena kekuatan ekonomi (muncul sebutan mas nganten dan mbok mase)
Halaman Selanjutnya....

Komentar

Komentar
()

Top