Hasilkan Hidrogen Hijau dengan Sinar Matahari
Energi Baru Terbarukan
Foto: IstimewaHidrogen merupakan harapan bagi bahan bakar yang ramah lingkungan. Untuk menghasilkan hidrogen hijau, para peneliti dari Jepang lembaran fotokatalitik untuk menangkap sinar matahari untuk memecah air menjadi hidrogen dan oksigen.
Peneliti Jepang telah mengembangkan metode inovatif dalam memanfaatkan sinar matahari untuk memecah air menjadi bahan bakar hidrogen hijau. Prosesnya secara efektif memanfaatkan dua sumber energi gratis sekaligus membantu memerangi perubahan iklim.
Penelitian yang dihasilkan oleh para peneliti dari Universitas Shinshu di Jepang bisa menjadi pelopor dalam menghilangkan gas alam dan bahan bakar fosil. Dengan memproduksi hidrogen (H2) dari sinar matahari, mereka telah menciptakan sumber energi yang lebih bersih.
Ilmuwan yang terlibat dalam metode baru ini mengembangkan lembaran fotokatalitik untuk reaktor pembuktian konsep (proof-of-concept reactor) yang menunjukkan kepraktisan proses tersebut dalam aplikasi dunia nyata. Karena mudah diproduksi, lembaran tersebut memungkinkan produksi bahan bakar hidrogen skala besar dari air.
Sejauh ini, reaktor tersebut telah berhasil beroperasi selama tiga tahun di laboratorium dan kondisi sinar matahari langsung. Proses pemisahan air dengan fotokatalis meningkatkan harapan akan penggunaan teknologi yang nol emisi ini.
“Pemisahan air yang digerakkan oleh sinar matahari menggunakan fotokatalis merupakan teknologi ideal untuk konversi dan penyimpanan energi surya ke kimia, dan perkembangan terkini dalam bahan dan sistem fotokatalitik meningkatkan harapan untuk realisasinya,” ungkap rekan penulis Profesor Kazunari Domen dari Universitas Shinshu. “Namun, masih banyak tantangan yang tersisa,” imbuh dia.
Fotokatalis merupakan katalis yang digunakan untuk mempercepat reaksi kimia dengan bantuan sinar atau cahaya. Biasanya digunakan untuk mengolah limbah cair yang mengandung zat organik misalnya untuk mengolah limbah cair yang mengandung fenol.
Di penelitian tersebut fotokatalis digunakan untuk proses pemisahan air menjadi komponen hidrogen dan oksigen (O2). Ketika cahaya mengenai katalis, maka terjadi reaksi kimia yang memisahkan hidrogen dan oksigen.
Ada dua jenis utama mesin ini, yang terdiri dari sistem satu langkah, yang bekerja untuk memecah air sepenuhnya, dan sistem dua langkah, yang memiliki proses terpisah untuk menghilangkan hidrogen dan oksigen dari air dengan paling efisien.
Meskipun solusi dua langkah masih dalam tahap pengujian dan belum siap untuk implementasi praktis, para peneliti telah membuat kemajuan yang signifikan. Para ilmuwan berupaya untuk menentukan fotokatalis paling efisien yang menyeimbangkan efisiensi tugas dengan masalah keberlanjutan.
Mereka juga mengeksplorasi cara untuk mengelola ketegangan sifat energi surya yang terus-menerus menyala. Namun, mencapai efisiensi dan efektivitas biaya yang melampaui proses penyulingan gas alam tetap menjadi tantangan.
“Jelas bahwa teknologi konversi energi surya tidak dapat beroperasi di malam hari atau dalam cuaca buruk,” kata penulis utama Dr Takashi Hisatomi dari Universitas Shinshu. “Namun dengan menyimpan energi sinar matahari sebagai energi kimia bahan bakar, energi tersebut dapat digunakan kapan saja dan di mana saja,” tutur dia.
Faktor Keamanan
Sementara itu menyimpan bahan bakar hidrogen dan bahkan proses pemisahan air menimbulkan tantangan keamanan yang signifikan karena hidrogen mudah terbakar dan potensi produk sampingan yang meledak seperti oksihidrogen. Proses dua langkah tersebut menghindari pembuatan oksihidrogen.
Namun, tim peneliti Jepang telah mengembangkan metode satu langkah untuk mengurangi bahaya produk sampingan ini. Cara ini diharapkan dapat meminimalkan risiko keamanan dengan membakar oksihidrogen dalam lingkungan yang sempit dan terkendali.
“Dalam sistem kami, menggunakan fotokatalis yang responsif terhadap ultraviolet, efisiensi konversi energi surya sekitar satu setengah kali lebih tinggi di bawah sinar matahari alami,” kata Hisatomi.
Simulasi sinar matahari standar menggunakan spektrum dari wilayah lintang yang sedikit lebih tinggi. Efisiensi konversi energi surya bisa lebih tinggi di area yang sinar matahari alaminya memiliki lebih banyak komponen panjang gelombang pendek daripada sinar matahari referensi yang disimulasikan.
“Namun, saat ini efisiensi di bawah sinar matahari standar yang disimulasikan adalah 1 persen paling baik, dan tidak akan mencapai efisiensi 5 persen di bawah sinar matahari alami,” ungkap dia.
Peningkatan efisiensi fotokatalisis dan pembangunan reaktor yang lebih besar merupakan hambatan utama untuk melampaui efisiensi 5 persen. Peneliti masa depan perlu melakukan lebih banyak eksperimen di dunia nyata untuk memecahkan masalah tersebut.
Tim tersebut memperingatkan bahwa standarisasi standar keselamatan dan efisiensi akan diperlukan untuk bergerak maju karena potensi bahaya penerapan hidrogen sebagai sumber bahan bakar. Mereka merekomendasikan pengembangan badan akreditasi dan kontrol perizinan untuk memaksimalkan keselamatan dan memajukan bidang ini.
“Aspek terpenting yang harus dikembangkan adalah efisiensi konversi energi surya ke kimia oleh fotokatalis,” jelas Domen. “Jika ditingkatkan ke tingkat praktis, banyak peneliti akan bekerja serius pada pengembangan teknologi produksi massal dan proses pemisahan gas, serta konstruksi pabrik skala besar,” kata dia.
“Hal ini juga akan mengubah cara banyak orang, termasuk para pembuat kebijakan, berpikir tentang konversi energi surya, dan mempercepat pengembangan infrastruktur, undang-undang, dan peraturan yang terkait dengan bahan bakar surya,” tambah Domen. hay/I-1
Berita Trending
- 1 Presiden Prabowo Membantah Akan Memaafkan Koruptor
- 2 Kemenag: Biaya Haji 2025 di Kisaran Rp80 Jutaan
- 3 Meskipun Kontribusinya Masih Kecil, EBT Diarahkan Dukung Swasembada Energi
- 4 Presiden Resmi Umumkan PPN 12 Persen, Berlaku 1 Januari 2025
- 5 Prabowo dan Sri Mulyani Tiba di Kantor Kemenkeu di Tengah Rencana PPN Naik